
KAMPUNGBERITA.ID-Menindaklanjuti pengaduan Deni Imawati, warga Jalan Banyu Urip Wetan Tengah 6/35 Surabaya, yang anaknya meninggal setelah berobat di Rumah Sakit Tingkat III Brawijaya, Komisi D DPRD Kota Surabaya menggelar rapat hearing dengan pihak-pihak terkait, Rabu (19/3/2025).
Rapat dipimpin oleh dr. Akmarawita Kadir dan dihadiri oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, dokter UGD dan Poli Anak RS Brawijaya, serta Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jatim.
Dalam rapat tersebut, Ibu Deni menyampaikan kekecewaannya terhadap proses yang terjadi setelah anaknya meninggal. Apalagi, dia mengaku dapat intimidasi dari instansi lain yang memintanya untuk menuliskan pernyataan agar mengikhlaskan kepergian anaknya.
Bahkan, barang bukti yang dimilikinya dibawa pergi, dan dia baru menerimanya kembali di Polda Jatim tiga hari kemudian.
“Jika saya tidak mau menulis pernyataan tersebut, saya diancam akan dituntut balik karena dianggap menuduh pihak rumah sakit melakukan malapraktik,” ungkap Ibu Deni.
Selain itu, dia juga mengeluhkan bahwa dirinya tidak diizinkan melihat rincian obat maupun resume medis anaknya dari pihak rumah sakit.
Sementara M Sholeh, pengacara Deni Imawati mengatakan, pihaknya diundang Komisi D DPRD Kota Surabaya terkait aduan dari Ibu Deni atas kematian anaknya yang masih berusia 4 bulan pada 29 November 2024 di RS Brawijaya.
Ibu Deni dan suaminya, lanjut dia, tidak percaya dan merasa kecewa atas pelayanan pihak rumah sakit.
“Tadi oleh Komisi D semua dipanggil, Ibu Deni dan juga dokter UGD dan poli anak RS Brawijaya sampai kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya juga dihadirkan ” jelas dia.
Menurut Sholeh, semuanya memberikan penjelasan, tetapi menurut Ibu Deni penjelasan yang disampaikan tersebut masih kurang memuaskan.
“Ibu Deni masih tidak percaya bahwa gara-gara cairan yang disuntikkan itulah membuat anaknya meninggal. Padahal saat itu baru satu jam ada di RS Brawijaya,” jelas M Sholeh.
Karena itu, lanjut dia, Ibu Deni maupun suaminya masih tetap kekeh untuk dilakukan autopsi. Apapun hasil autopsi nanti, kalau memang tidak ada sebab-sebab kesalahan dari dokter, tidak ada kesalahan penanganan dari rumah sakit, Ibu Deni dan suaminya akan menerima dengan ikhlas.
“Tetapi ketika hasil autopsi justru membuktikan ada kesalahan dari dokter, tentu proses hukum tidak boleh berhenti. Siapa yang bersalah di dalam penanganan anaknya Ibu Deni ya harus diproses hukum,”tegas M Sholeh.
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya, dr Nanik Sukristina menjelaskan, bahwa pihaknya telah menerima laporan mengenai kasus ini dan telah melakukan audit internal serta audit maternal perinatal (AMP). Proses audit tersebut dilakukan pada 22 Januari 2025 dengan melibatkan ahli dan berbagai dokter spesialis dari RS Brawijaya, IDAI Jatim dan puskesmas.
“Dari hasil audit, kasus ini tergolong sebagai dying case, yang berarti memiliki risiko kematian sangat tinggi. Kami juga memastikan bahwa apa yang dijalankan oleh pihak rumah sakit sudah sesuai prosedur standar operasional (SOP),” jelas Nanik.
Apa ini berarti tidak ada indikasi malapraktik seperti yang dituduhkan? Dia menegaskan, sesuai audit AMP tidak ada malapraktik. “Ya kita tunggu saja perkembangannya,” tandas dia.
Lebih jauh, dia menjelaskan, kalau Dinas Kesehatan sudah punya alur penanganan ibu hamil dan setelah melahirkan bayi serta keadaan bayinya.
Di Surabaya sendiri, lanjut dia, upaya pencegahan terhadap kesehatan ibu dan balita tersebut dipantau terus menerus.Tapi karena Ibu Deni ini sering berpindah-pindah, lanjut dia, hal ini menyulitkan pihaknya untuk melakukan pemantauan.
“Setelah kami cek, ternyata vaksinasi anak Ibu Deni ini tidak lengkap. Artinya baru vaksinasi BCG (mencegah tuberkulosis)
, sedangkan DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) belum. Padahal, DPT untuk menambah daya tahan tubuh bayi itu sendiri, ” jelas dia.
Sementara dr Samsul dari IDAI Jatim menjelaskan, kalau melihat kronologis pasien, dirinya bisa melihat ada dua kegawatan dalam hal ini.
Tidak bisa kencing dalam waktu lama itulah tanda dehidrasi. Dehidrasi itu sendiri menyebabkan sirkulasi menurun, oksigenasi menurun, sehingga bisa terjadi kejang.
“Analisa saya ini terjadi dehidrasi, kemudian menurun kesadarannya, ” jelas dia.

Ketua Komisi D DPRD Surabaya, dr. Akmarawita Kadir, menuturkan jika pada 11 Maret 2025, Komisi D mendapat pengaduan dari Bu Deni Imawati. Ia mengeluhkan kejadian pada 29 November 2024, di mana anaknya yang dirawat di UGD RS Brawijaya, satu jam kemudian meninggal dunia dalam usia empat bulan.
“Ibu Deni ini merasa kalau yang menyebabkan anaknya meninggal dunia itu karena penanganan yang kurang tepat dari RS Brawijaya, ” ujar dr Akmarawita yang juga menyayangkan Polsek Wonokromo tak bisa datang dalam rapat hearing karena terkait kasus yang ada waktu itu ada di wilayahnya.
Setelah anaknya meninggal, ternyata Ibu Deni melaporkan kasus ini ke Wali Kota Eri Cahyadi. Kemudian Dinas Kesehatan (Dinkes) sudah melakukan penyelidikan audit internal dan audit maternal perinatal (AMP). Hasilnya, RS Brawijaya dinyatakan sudah melakukan penanganan pasien sesuai SOP. Begitu juga dengan obat-obatan yang diberikan ke pasien, sudah sesuai SOP.
Ini juga dikuatkan dari IDAI Jatim, dokter Samsul. “Jadi kemungkinan kalau pasien kurang dari 12 jam itu meninggal dunia, kemungkinan akibat dari sakit pasien yang bersangkutan, dalam hal ini anak Ibu Deni,”ungkap dia.
Lebih jauh, Politisi Partai Golkar ini menyampaikan bahwa Dinkes Surabaya sudah melakukan penyelidikan. Tapi rupanya yang bersangkutan (Ibu Deni) masih tetap tak percaya dan merasa meninggalnya anaknya janggal.
“Beliau bersikukuh minta kasus ini dilanjutkan, dan ini pasti akan dilakukan autopsi,”tandas Akmarawita.
Dia menyampaikan ke RS Brawijaya dan Dinkes Surabaya mungkin ada komunikasi lebih lanjut terhadap keluarga.
Dia juga menekankan bahwa DPRD Surabaya berkomitmen untuk memastikan hak-hak keluarga pasien tetap terlindungi dan transparansi dalam penanganan kasus seperti ini harus tetap dijaga.
“Kami menghormati proses yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan maupun pihak rumah sakit, namun kami juga harus memastikan bahwa keluarga pasien harus mendapatkan keadilan dan akses informasi yang mereka butuhkan. Karena itu, Komisi D akan terus memantau perkembangan kasus ini,” tegas Akmarawita.
Terkait obat puyer yang diindikasikan oleh orang tua korban sebagai penyebab kematian anaknya, Akmarawita menjelaskan puyer itu obat batuk pilek biasa. Dari Dinkes Surabaya dikatakan puyer ini aman dan tak menyebabkan penurunan kesadaran. Karena ketika pasien masuk ke UGD itu kesadarannya menurun, tampak sesak dan kekurangan oksigen dilihat dari laporan dr Meidia, dokter UGD RS Brawijaya. Tidak itu saja, jari-jari dan bibir pasien itu sudah mulai membiru setelah menempuh perjalanan selama satu jam dari Sidoarjo ke RS Brawijaya.
Bagaimana dengan tambahan suntikan yang juga dituding sebagai penyebab meninggalnya pasien? Akmarawita menyebut jika penambahan suntikan sudah diselidiki Dinkes, kalau tak salah itu obat penurun panas, antrain. Menurut IDAI juga sebenarnya sudah sesuai prosedur.
“Kalau Ibu Deni memang belum puas, artinya masih menganggap ada kejanggalan, itu haknya sebagai warga negara untuk melaporkan ini ke polisi. Hanya saja yang kita sayangkan kasus ini sudah lama mulai November 2024 dan saat itu langsung dilaporkan, tapi Kapolsek Wonokromo tak melanjutkan dan infonya Ibu Deni disuruh ikhlas,” beber dia.
Kalau Ibu Deni ikhlas sih tak masalah. Tapi, ia kan tetap ngotot dan ini harus ditindaklanjuti. “Kalau ingin bukti, ya harus dilakukan autopsi,” pungkas dia. KBID-BE