KAMPUNGBERITA.ID – Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristyanto menilai, besaran dana bantuan partai politik masih kurang besar. Menurut Hasto, apa yang ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri berupa bantuan dana Rp 1.000 per suara masih jauh dari kajian rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni antara Rp.1.000 hingga Rp.10.000.
“Berdasarkan kajian dari KPK sendiri itu standarnya antara Rp 1.000 sampai Rp 10.000 per suara itu kajian KPK nanti kita lihat situasi dari anggaran saat ini,” ujar dia dilansir Republika, Minggu (3/9).
Walaupun tergolong kecil, lanjut dia, PDIP memahami siituasi keuangan negara saat ini sedang surut. Situasi tersebut, lanjut dia, akibat prioritas pembangunan infrastruktur yang diterapkan pemerintah.
Namun, Hasto yakin, dana bantuan parpol akan berangsur naik ketika keadaan keuangan pemerintah sudah membaik.
“Nantinya akan ada saatnya anggaran itu dinaikkan,” jelas dia.
Sikap PDIP sendiri, lanjut Hasto, menyambut positif apa yang sudah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri terkait dana bantuan parpol tersebut. Oleh karena itu, lanjut dia, sebagai konsekuensinya yaitu aspek akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana dan anggaran tersebut akan ditingkatkan oleh PDIP.
Di sisi lain, sejumlah kalangan sebenarnya tidak menolak jika partai politik menerima bantuan dana operasional dari Pemerintah. Namun yang disayangkan, di tengah keuangan negara yang morat-marit saat ini, justru kenaikan bantuan dana parpol naik 10 kali lipat. Sedangkan sejumlah anggaran untuk kepentingan rakyat justru dihapus. Kejanggalan ini kemudian dinilai bermuatan kepentingan penguasa untuk mempertahankan kekuasaan hingga 2019 sekaligus untuk mendapat kekuatan politik di Pemilu 2019 mendatang.
Pengamat politik Syarwi Chaniago menilai, kenaikan tersebut tidak tepat di tengah-tengah meningkatnya angka kemiskinan di negeri ini. “Bagi saya ini sebuah anomali. Di satu sisi ingin memperbaiki mental partai politik, tapi disisi lain rakyat semakin miskin. Kalau mau direalisasikan, harus menunggu kondisi ekonomi membaik,” kata Syarwi dilansir Indopos.
Dia menjelaskan, kondisi rakyat saat ini sedang sulit untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Selain itu rakyat juga dibebankan dengan mahalnya biaya hidup.
“Dana Parpol dinaikkan namun subsidi justru pada dicabut dan ditarik. Selain itu, rakyat juga saat ini banyak yang menjadi pengangguran, karena banyak perusahaan yang gulung tikar,” ungkapnya.
Sehingga kesan politik atau political massage yang pantas diungkapkan dari kenaikan dana parpol itu, menurut Pangi, pemerintahan Joko Widodo sedang memainkan strategi politik demi memuluskan keberlangsungan pemerintah hingga 2019.
“Ini termasuk strategi politik presiden Jokowi sehingga program dan kebijakan pemerintahan Jokowi tidak dijegal, namun mulus didukung parpol di parlemen. Mungkin saja sebagai upaya menarik dukungan (parpol, red) di pemilu 2019,” cetusnya.
Lebih lanjut, Pria asal Sumatra Barat ini mengaku, memahami alasan ideal pemerintah menaikkan dana parpol tersebut, yakni supaya tidak lagi ada aktifitas yang ilegal atau aktifitas sembunyi bunyi, khususnya mnjadikan BUMN sebagai sapi perahan atau ATM berjalan parpol.
“Tetapi saat ini saya kembali menegaskan, belum tepat waktunya untuk menaikan dana parpol,” tambahnya.
Sebagaimana diketahui, penetapan kenaikan dana parpol tersebut tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017 pada 29 Maret 2017. Kenaikan bantuan partai dana parpol juga diikuti dengan revisi PP Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Parpol.
Sementara, Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Syamsuddin Alimsyah menganggap kenaikkan dana banpol ini pastinya akan sangat menguntungkan partai-partai besar.
Kopel pun mencoba menghitung dana yang akan diperoleh partai dengan merunut pada perolehan suara pada Pemilu 2004. Kopel mengestimasi APBN harus menganggarkan Rp 124 miliar untuk dana bantuan parpol.
Dari simulasi Kopel tersebut, tiga partai yang mendapat dana bantuan (subsidi APBN) terbanyak, yaitu PDI Perjuangan, Golkar dan Gerindra. Kopel juga mengestimasi PDI Perjuangan akan mendapatkan bantuan terbanyak karena merupakan partai pemenang Pemilu 2004.
Ray Rangkuti, pengamat politik dari Lingkar Madani (LIMA) Indonesia mengatakan, kebijakan menaikan dana parpol hingga 1.000 persen dinilai sangat mengecewakan masyarakat. Lantaran tidak mengindahkan kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Terlebih lagi, perilaku para politisi yang cenderung negatif.
“Jelas ini sangat mengecewakan. Dalam kondisi ekonomi kita yang melempem, tingkat pertumbuhan tidak seperti yang diharapkan,” ungkap Ray Rangkuti.
Terkait dengan perilaku parpol, sambung Ray, khususnya berkaitan dengan penggunaan dan pengelolaan dana negara serta minimnya sanksi bagi parpol yang anggotanya terlibat kejahatan korupsi secara masif, membuat kebijakan tersebut tidak relevan.
“Maka pemberian dana yang meningkat sampai 1.000 persen adalah keputusan yang sama sekali tidak dalam rangka memperbaiki kinerja dan moralitas parpol,” ujar Ray.
Dalam satu tahun terakhir, lanjutnya, belanja uang negara untuk kepentingan parpol tak dapat dilihat sedikit. Selain keputusan penaikan dana parpol, pemerintah juga meluluskan rencana pembangunan gedung baru DPR yang dananya dapat mencapai triliunan. Ini seperti politik balas budi atas ‘kesetiaan’ parpol dalam mengawal kebijakan presiden setidaknya dalam tiga tahun terakhir.
“Dan sudah seperti diduga, untuk kebijakan pemerintah yang satu ini, tak ada suara oposisi yang menolak dan bersikap berbeda,” tuturnya.
Menurut dia, oposisi hanya menjadi oposisi apabila kepentingan dengan pemerintah berbeda. Oposisi kehilangan daya ‘sengatnya’ bila putusan pemerintah menguntungkan mereka. “Putusan pemerintah ini juga tidak disertai dengan pembenahan sistem keuangan parpol. Bahkan, dalam revisi UU yang lalu pun, soal kewajiban parpol agar lebih transparan dalam pengelolaan dana negara sama sekali tidak mendapat penguatan,” paparnya. KBID-ROL