
KAMPUNGBERITA.ID
Komisi B DPRD Kota Surabaya menengarai tingkat kebocoran pendapatan dari sektor pajak restoran cukup tinggi, sehingga merugikan Pemkot Surabaya.
Ini terungkap saat Komisi B rapat koordinasi membahas RAPBD 2026 dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Surabaya di ruang Komisi B, Selasa (21/10/2025).
Berdasarkan laporan Bapenda, hingga September 2025, capaian pajak restoran sudah mencapai 73 persen atau Rp 536 miliar dari total target yang ditetapkan Rp 736 miliar. Nilai tersebut terakumulasi dari jumlah wajib pajak restoran yang mencapai ribuan. Sedangkan pajak hotel mengalami kenaikan sedikit, yakni dari Rp 405 miliar menjadi Rp 407 miliar. Masih ada peluang bagi mereka untuk meningkatkan setoran pajak hingga akhir tahun.
Meski demikian, Wakil Ketua Komisi B, Moch Machmud tidak sepakat dengan istilah adanya penagihan pajak restoran dan penagihan pajak hotel.
Kenapa demikian? Karena, Menurut Machmud pajak restoran itu yang membayar adalah konsumen yang makan di restoran, bukan pemilik restoran. Tarif pajak restoran di Surabaya 10 persen dan tarif ini dikenakan pada konsumen saat membayar tagihan di restoran. “Pemilik restoran itu tidak membayar pajak. Misalkan kita makan habis Rp 1 juta, maka yang kita bayar Rp 1,1 juta. Artinya Rp 100 ribu itu uang konsumen untuk bayar pajak yang dititipkan ke pengusaha restoran. Jadi pengusaha restoran ini harus setor pajak ke Pemkot Surabaya, tidak sampai ditagih, “ujar Machmud.
Tapi fakta di lapangan, lanjut dia, Bapenda justru harus bersusah payah menagih ke pengusaha restoran. Ini seharusnya tak boleh terjadi. Artinya, kesadaran pengusaha restoran untuk membayar pajak dari konsumen harus otomatis. Apalagi, Machmud melihat Pemkot Surabaya sampai memasang Closed Circuit Television (CCTV) di lokasi parkir untuk memantau berapa jumlah konsumen yang datang, parkirnya berapa dan lain lain. “Ini kan bukti pengusaha restoran ini tak bisa dipercaya, sehingga Pemkot Surabaya sampai harus melakukan tindakan seperti itu,” ungkap dia seraya menambahkan, seharusnya pengusaha restoran yang berinisiatif untuk setor ke Pemkot Surabaya, bukan malah ditagih.
Selain pajak restoran, lanjut Machmud, pihaknya juga menyoroti pajak dari sektor hotel. Sama dengan pajak restoran, ketika tamu menginap di hotel itu dengan tarif Rp 1 juta per malam misalnya, maka yang mesti dibayar ke kasir Rp 1,1 juta. Artinya, uang Rp 100 ribu itu adalah uang tamu untuk bayar pajak yang dititipkan ke pengusaha hotel. “Ini harus ditagih agar yang uang Rp 100 ribu tadi dibayarkan ke Pemkot Surabaya. Sebenarnya ini kan terlalu. Seharusnya kesadaran pengusaha hotel untuk setor pajak ke pemkot, tidak sampai ditagih. Ini saja pajaknya masih turun, nagihnya susah alias mbulet sampai harus minta-minta (nagih),” ungkap Machmud.
Untuk itu, dia sangat menyayangkan rendahnya tingkat kesadaran para pengusaha untuk menyetor pajak hingga Pemkot Surabaya masih harus minta-minta uangnya yang dititipkan saat makan di restoran atau menginap di hotel. Padahal itu haknya konsumen atau tamu yang menginap, dan juga hak Pemkot Surabaya untuk pembangunan Kota Surabaya.
Untuk itu, mantan anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya ini mengingatkan bagi pengusaha yang benar-benar ketahuan membawa uang konsumen atau tamu yang menginap di hotel bisa dilaporkan ke aparat kepolisian. Karena tindakan tersebut bisa dikategorikan penggelapan pajak, mengingat uang tersebut bukan hasil kerja pengusaha. “Itu kan uang konsumen yang diambil dari pajak, diputar untuk investasi dulu. Jika ulah pengusaha itu ketahuan baru disetor ke pemkot,” jelas dia
Menurut Machmud,
keyakinan Pemkot Surabaya menumbuhkan kesadaran atau kejujuran dengan cara memasang perangkat CCTV di lokasi parkiran, tidak di restorannya, ternyata dampaknya kurang signifikan, meski setoran pajak dari pengusaha restoran mengalami kenaikan sedikit.
Lebih jauh, Machmud mengaku punya info data. Kalau ini dibreakdown, misalkan satu restoran bayar pajak Rp 1 juta per tahun. Ketika ini dibagi 12 bulan, misalkan ketemu Rp 300 ribu. Ketika di breakdown lagi dalam 30 hari ketemu 30. Ketika dicek di lokasi, itu cuma sekitar lima piring (porsi) misalnya seperti itu.
Masuk akal apa enggak? “Padahal di lokasi, kita cari meja saja susah, mau makan tempatnya penuh terus setiap hari. Tapi data yang masuk dan pajak yang dibayarkan ya hanya lima piring. Lima piring itu dari tarif lho ya. Misalkan tarif sepiring Rp 50 ribu atau Rp 30 ribu, itu bayar Rp 3.000. Hanya lima piring thok. Padahal fakta di lapangan jauh lebih ramai. Ini artinya uang konsumen diambil pengusaha restoran, seharusnya tidak boleh,” tegas dia.
Ditanya soal jumlah hotel yang beroperasi di Surabaya, Machmud mengaku belum punya data lengkap. Hanya saja untuk restoran tercatat ada 4.134. Yang belum tercatat belum bayar pajak.
“Ini data dari Pemkot yang tertagih, baik restoran kecil maupun besar. Padahal di Surabaya bisa lebih dari itu jumlah restorannya,” tandas Machmud.
Dia menambahkan, selain bayar pajaknya sedikit, juga ada banyak restoran atau hotel yang tidak membayar pajak. Akibatnya, tingkat kebocoran pajak dari sektor restoran dan hotel ini sangat tinggi. Di satu sisi, Pemkot Surabaya butuh uang pajak untuk pembangunan. Ini karena dana pusat dikurangi, dan juga harus bayar utang.
“Karena itu, intensifikasi penagihan pajak ini harus maksimal,” pungkas dia. KBID-BE
