
KAMPUNGBERITA.ID-Fenomena meningkatnya calon tunggal dalam gelaran Pilkada Serentak di Indonesia dinilai menjadi tanggung jawab partai politik (parpol). Mengingat parpol adalah tempat pengkaderan pemimpin yang dipersiapkan.
Hal ini disampaikan
Dosen Komunikasi Politik Unitomo Surabaya, Machmud Suhermono dalam Rapat Kerja (Raker) Pimpinan Media dalam Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU)Kota Surabaya di Movenpick Hotel, Kamis (11/7/2024).
Machmud merasa khawatir dengan fenomena munculnya borong partai yang berpotensi memunculkan calon tunggal. Karena itu, dia meminta pers mencegah calon tunggal dan mendorong masyarakat meminta partai politik untuk memunculkan kader terbaiknya yang telah disiapkan untuk menjadi pemimpin daerah.
“Parpol kan tempat pengkaderan. Selama lima tahun ini mana kader yang harus didorong untuk dipilih oleh masyarakat. Maka dari itu masyarakat harus mendorong ke sana,”ujar dia.
“Masak sih seluruh partai politik hanya satu calon (tunggal), kan enggak mungkin, ” tambah jurnalis senior ini.
Lebih jauh, dia menjelaskan, kalau calon tunggal akan banyak merugikan dan menutup peluang kader-kader atau calon-calon potensial. Mereka tidak akan bisa muncul ke permukaan.Tentu ini akan menyebabkan proses sirkulasi kepemimpinan daerah berjalan tidak sehat, memperlemah sistem demokrasi, dan cenderung memperkokoh praktik monopoli kekuasaan di tingkat daerah.
“Sekali lagi, fenomena seperti ini sudah sangat mengkhawatirkan. Sehingga pada akhirnya masyarakat tidak punya pilihan,” tegas dia.
Menurut dia, maraknya fenomena calon tunggal ini menjadi bukti kegagalan partai politik dalam menyiapkan kadernya untuk menjadi pemimpin.
Selain itu, munculnya calon tunggal dalam pilkada, juga menyebabkan potensi ekonomi di tingkat bawah berhenti.
“Ada belasan sektor yang akan berhenti kalau sampai muncul calon tunggal,” tandas dia.
Machmud mencontohkan, sektor yang terancam berhenti, yakni transportasi. Sektor ini tidak akan terpakai karena tidak ada kampanye dan pergerakan massa.
Selanjutnya, industri garmen (kaus, jaket,baju, dan pernak -pernik). Juga industri periklanan mulai spanduk, baliho, banner akan berhenti. Begitu juga perusaan pers, tidak dapat iklan.
“Parahnya lagi, aturan di UU, orang tak boleh mengkampanyekan kotak kosong. Karena apa? Karena terjadi ketidaksetaraan. Yang pasangan calon boleh kampanye, yang kotak kosong tak boleh kampanye,”ungkap Machmud.
Dia mengaku, kekhawatirannya ini terjadi sejak 2018. Kala itu, dia kebetulan melakukan penelitian soal Pilwali Kota Makassar 2018, dimana calon tunggal kalah dari kotak kosong.Kala itu,
pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi gagal meraih lebih dari 50 persen suara sah.
“Saya seminggu di Makassar dan melihat ke tingkat masyarakat bawah. Faktanya, ada perlawanan di sana, masak calonnya kok hanya satu,” tutur dia.
Peristiwa di Pilwali Makassar 2018 itu, lanjut dia, bisa jadi pembelajaran dan jangan sampai terjadi di kota-kota besar, terutama pada Pilkada Serentak 2024.
“Mengkhawatirkan sekali. Pilkada ini adalah kontestasi sehingga harus ada lawan, ” tegas dia.
Machmud mencatat pada Pilkada 2015 hanya ada tiga calon tunggal di tiga wilayah. Kemudian pada Pilkada 2017 bertambah menjadi sembilan calon tunggal. Selanjutnya dalam Pilkada 2018 bertambah menjadi 16 calon tunggal, dan Pilkada 2020 naik menjadi 25 calon tunggal. Jadi, ada peningkatan 200 persen untuk calon tunggal.
Untuk itu, Machmud kembali mengingatkan kepada masyarakat untuk menagih partai politik, mana calon-calon pemimpinnya yang nanti akan dipilih untuk menjadi pemimpin daerah.
Ditanya fenomena borong partai dan calon tunggal apakah berpotensi juga terjadi di Pilkada Surabaya, dimana sampai saat ini pasangan petahana Eri Cahyadi-Armuji masih belum memiliki pesaing? Machmud menjelaskan, potensi itu tidak hanya di Surabaya saja, tapi hampir di semua daerah. Utamanya, kota-kota besar.
“Saya melihat fenomena calon incumbent, bertemu sejumlah partai sih enggak masalah, Tapi jangan sampai nanti terjadi calon tunggal. Ini harus kita cegah. Untuk itu, mari kita mendorong partai-partai untuk mencalonkan kader terbaiknya. Kan hanya 20 persen dari 50 kursi di DPRD Kota Surabaya. Artinya, dengan 10 kursi sudah bisa mencalonkan. Masak dari sekian partai pandangannya sama, tapi ideologinya dan program kerjanya beda-beda. Aneh kalau hanya satu calon, ” ucap pengurus PWI Jatim ini. KBID-BE