KAMPUNGBERITA.ID – Lirik lagu ‘Kartonyono Medot Janji’ yang dinyanyikan Denny Caknan banyak membuat penasaran. Maklum, lagu Jawa tersebut cukup meledak seiring dengan demam ‘Ambyar’ yang digaungkan Didik Kempot komponis lagu-lagu campursari kontemporer.
Kartonyono Ning Ngawi Medot Janjimu, demikian penggelas lirik lagu yang membuat para penikmat musik penasaran. Siapa dan apa sebenarnya Kartonyono?. Banyak yang sebelumnya menduga Kartonyono adalah sosok orang yang dengan sengaja menghalangi ikatan cinta dua orang manusia sebagaimana makna yang tersirat dalam lagu tersebut.
Ternyata salah!. Kartonyono yang ada di Ngawi adalah nama perempatan di pusat Kota Kripik tersebut. Di situ memang banyak anak-anak muda sering berkumpul. Lebih-lebih, sejak November 2018 silam Pemkab Ngawi sudah mempercantik perempatan Kartonyono yang sebelumnya terdapat monumen Piala Adipura menjadi monumen Gading Gajah sebagai ikon baru Kota Ngawi. Monumen tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Tugu Kartonyono.
Penggantian tugu Adipura dilakukan lantara sudah berumur 34 tahun, tugu itu diganti berupa gading gajah dengan posisi menjuntai ke atas.
Pembangunan tugu delapan gading itu sempat menuai polemik. Sejumlah warga banyak mempertanyakan perihal ketidaksesuaiannya dengan desain awal.
Pembangunan tugu yang menelan dana Rp 3,1 miliar tersebut berawal dari desain yang dimenangkan Triyono. Namun, Triyono pun harus tetap menyesuaikan dengan paradigma yang ada dan dianalisis lagi menyesuaikan detail engineering design (DED). Dari DED itu, muncul beberapa pertimbangan dan masukan dari tokoh masyarakat Ngawi terkait dengan isi desain prototipe versi Triyono.
Desain gambar milik Triyono tidak semuanya bisa diakomodir dalam perencanaan. Salah satunya terkait ikon manusia purba sebagai latar belakang dari gading gajah.
Hal tersebut disebabkan analogi sebagian masyarakat bahwa manusia purba yang telanjang bulat sesuai bentuk aslinya. Sehingga, tidak etis jika disesuaikan dengan norma dan adat ketimuran. Akhirnya, agar tidak menimbulkan polemik di tengah kelompok masyarakat Ngawi yang notabene beragama Islam, maka ikon manusia purba dihilangkan dari desain gambar versi Triyono dan meninggalkan tujuh trap berupa gading menjuntai ke atas.
Perihal pembangunan tugu yang menelan anggaran Rp 3,1 miliar, Teguh Suprayitna, PPK DPUPR Ngawi kala itu menjelaskan, bahwa dana tersebut bukan hanya untuk pembangunan tugu gading saja.
“Anggaran itu bukan hanya pembangunan fisik tugu saja, tetapi meliputi penataan landscape jalan, leveling jalan, dan pemindahan marka serta traffic light,” jelas Teguh Suprayitna.
Sedangkan arti harfiah sendiri dari tugu tersebut menurutnya tujuh trap sebagai penopang gading gajah itu sendiri bermakna sangat universal. Antara lain, menanggulangi kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan, meningkatkan pelayanan dasar bidang pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan berdaya saing.
Selain itu, meningkatkan kualitas insfrastruktur sesuai daya dukung lingkungan dan fungsi ruang dan beberapa lagi makna sesuai jumlah trap yang ada.KBID-NAK