
KAMPUNGBERITA.ID
Sejumlah pasar buah yang ada di Jalan Tanjungsari, khususnya nomor 36, 47, 74, dan 77, ditengarai melanggar Perda Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perdagangan dan Perindustrian. Hal ini terungkap saat Komisi B menggelar rapat koordinasi (rakor) membahas penertiban pasar liar di kawasan Tanjungsari dengan
Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Perdagangan (Dinkopumdag), Bagian Perekonomian dan Sumber Daya Alam, Satpol PP,
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, serta Pertanahan (DPRKPP), Camat Sukomanunggal, Camat Bubutan, Lurah Tanjungsari, dan Lurah Bubutan di ruang Komisi B DPRD Kota Surabaya, Senin (11/8/2025).
Kepala Dinkopumdag Surabaya, Febrina Kusumawati, menjelaskan dari pembahasan dengan Komisi B menemukan sejumlah ketidaksesuaian antara izin dan kondisi riil di lapangan. “Dari empat potret lapangan, ternyata perizinan dan segala macamnya, ada ketidaksesuaian. Artinya, kalau pasar itu salah satunya disebutkan buka 24 jam, tapi luasannya tidak cocok,” ujar dia.
Febrina menegaskan, kalau monitoring dan pengawasan sudah dilakukan. Bahkan, surat peringatan akan dilayangkan jika para pedagang tidak mengindahkan kenyataan di lapangan dengan ketentuan yang harus dipenuhi. Memang itu tidak sesuai peruntukannya dan harus dibenahi. Jika tidak segera dilakukan, pihaknya akan mengambil langkah-langkah penertiban.
Kapan surat peringatan pertama dikeluarkan, dia mengaku segera. “Dalam resume rapat tadi surat peringatan pertama akan dikirim 15 Agustus 2025,” tandas dia.
Lebih jauh, Febrina menegaskan, penertiban bukan soal sulit atau tidak, melainkan soal menjalankan ketentuan hukum yang sudah disepakati bersama dalam Perda dan Perwali. “Kalau sudah ada surat peringatan dan tidak diindahkan, ya tinggal lanjut ke langkah hukum. Prosesnya jelas,”ungkap dia.
Namun, dia juga mengakui penertiban baru kali ini kembali mengemuka meski sebelumnya pernah dibahas di periode lalu. “Kalau dulu-dulu sempat belum terlaksanakan, sekarang kita lakukan karena perda mengamanatkan kita untuk melakukan itu,”ucap dia.
Wakil Ketua Komisi B, Mochammad Machmud, mengatakan dari rapat hearing terungkap pasar-pasar di Jalan Tanjungsari, khususnya nomor 36, 47,74, dan 77
melanggar Perda Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perdagangan dan Perindustrian. Yakni, pelanggaran definisi, jam buka, pasar itu kalau jual beli secara grosir maupun kulakan di pasar induk. Kalau di Perda itu namanya Pasar Utama luasnya 22.000 meter persegi (M2).
“Tapi di lokasi luasannya tidak sampai begitu. Bahkan, ada salah satu yang izinnya gudang, bukan pasar. Setelah kita urai ternyata melanggar Perda Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2023 dan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 51 Tahun 2023,” ungkap dia.
Ditanya kenapa Komisi B baru membahas sekarang, Machmud menyatakan, sebenarnya tidak kali ini saja. Pasar-pasar lain sudah masuk list untuk pembahasan, termasuk pekerjaan rumah- pekerjaan rumah dari periode sebelumnya. Yakni mulai Pasar Koblen, Pasar Mangga Dua, Pasar Tanjungsari, dan pasar-pasar tumpah akan dibahas. Khususnya, pasar di Jalan Tanjungsari setelah diteliti banyak yang tidak cocok. Klasifikasi di perda tidak cocok. Seharusnya buka jam sekian-sekian, tapi buka 24 jam. “Semua diakui oleh instansi terkait, dan juga camat bahwa pasar itu bukanya 24 jam. Makanya,
kami memberi deadline kepada Dinkopumdag agar pada 15 Agustus melayangkan surat peringatan pertama. Seminggu kemudian peringatan kedua dan ketiga. Pada peringatan ketiga itu tidak ada lagi waktu, langsung bantuan penertiban,” ungkap dia.
Terkait pengawasan dewan di lapangan, politisi Partai Demokrat ini menyampaikan jika pihaknya sudah melihat lokasi dan kondisinya cukup parah. Artinya, jual belinya di depan trotoar yang fungsinya untuk jalan. Ketika trotoar dipakai jualan, praktis pedagang tersebut mengambil hak pejalan kaki. Apalagi tak ada perasaan bersalah.
Machmud juga mengaku kasihan dengan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi yang menginginkan kota ini indah, tertib, bersih, dan nyaman untuk seluruh warga kota. Untuk itu, dia menyoroti petugas paling bawah, yaknin lurah dan camat yang seringkali abai terhadap pelanggaran di wilayahnya. “Sudah tahu ada satu-dua pedagang jualan di aspal, tapi dibiarkan sampai jadi puluhan bahkan ratusan. Sama halnya tanah pemkot yang dibiarkan ditempati sampai jadi kampung satu RW. Ketika mau dibongkar, jadi rumit,” tegas dia.
Machmud menambahkan jika mereka sudah mengerti tugas dan fungsinya di lapangan seharusnya tak terjadi seperti ini. Karena di kecamatan ada Satpol PP yang seharusnya aktif memantau pelanggaran, seperti pedagang berjualan di trotoar atau bangunan yang menutup saluran.
Terkait Pasar Koblen, Machmud menjelaskan,
kawasan Koblen sebelumnya mendapat izin khusus karena statusnya sebagai cagar budaya. Rekomendasi dari Tim Cagar Budaya 2020 memberi waktu dua tahun untuk membangun sesuai peruntukan. Namun hingga 2025, pembangunan tak kunjung dilakukan. “Itu berarti izinnya sudah mati sejak 2022. Kalau mau bergerak, ya tidak boleh lagi. Camat sudah kami minta bantu mengawasi,” pungkas dia. KBID-BE