KampungBerita.id
Headline Peristiwa Teranyar

Evakuasi Korban Gempa-Tsunami Palu terus Dilakukan, Likuifaksi Tanah Ancam Warga

Likuifiaksi tanah di Petobo, Palu saat terjadi gempa dan tsunami. Peristiwa ini menimbulkan banyak korban

KAMPUNGBERITA.ID – Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, hingga kemarin terdapat 1.234 orang dinyatakan meninggal dunia akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng).

Dia menyebut korban tersebut tersebar di kota dan kabupaten berdampak gempa dan tsunami yakni Palu, Kabupaten Donggala, Kabupten Sigi, dan Kabupaten Parigi Mutong.

“Korban yang kita pilah-pilah, totalnya 1.234 orang meninggal yang berasal dari dampak gempa bumi. Terutama reruntuhan bangunan dan terjangan dari tsunami,” kata Sutopo di kantor BNPB, Jakarta Timur, Selasa (2/10).

Sutopo juga menyatakan data sementara untuk korban luka berat hingga saat ini mencapai 799 orang. Dia juga menyebut saat ini 16 alat berat sudah didatangkan guna melakukan pencarian korban.

“Untuk evakuasi, pencarian dan penyelamatan korban telah dikerahkan,” ucapnya.
Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola menetapkan masa tanggap darurat selama 14 hari usai gempa dahsyat dan tsunami di Palu dan Donggala. Tanggap darurat berlaku per 28 September hingga 11 Oktober 2018.

Dengan ditetapkan status tersebut, Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan pemerintah lebih mudah untuk mengakses wilayah tersebut.

“Kemudahan akses dalam pergerakan pesonel, logistik, peralatan, termasuk penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan dalam penanganan darurat di Sulawesi Tengah,” kata Sutopo.

Dia menjelaskan, Gubernur Longki telah menunjuk Danrem 132 Tadulako sebagai komandan tanggap darurat penanganan bencana gempa dan tsunami di sana. Posko induk tanggap darurat penanganan bencana gempa bumi dan tsunami di wilayah tersebut juga telah di tempatkan di Makorem 132 Tadulako Palu.

Sementara itu, ratusan rumah di Kelurahan Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) masih tertimbun lumpur hitam pascagempa berkekuatan 7,4 Skala Richter mengguncang daerah itu, pada Jumat (28/9). Lumpur hitam berasal dari tanggul kali yang terletak di bagian timur Kelurahan Petobo di Jalan H.M. Soeharto.
Tanggul roboh saat gempa mengguncang daerah itu dan seketika lumpur menghantam rumah-rumah penduduk di bagian Ranjule Kelurahan Petobo sekitar pukul 18.07 Wita. Saat itu, bertepatan dengan waktu shalat maghrib. Banyak masyarakat utamanya beragama Islam berada di masjid.

Sebagian warga lainnya berada di rumah. Mereka tidak dapat berbuat banyak utamanya tindakan penyelamatan diri. Hingga kemarin, upaya pencarian korban terus dilakukan.

Kelurahan Petobo menjadi salah satu lokasi terdampak gempa paling parah, selain wilayah Perumnas Balaroa. Ribuan korban diperkirakan masih tertimbun tanah bersama bangunan di dua lokasi itu.

“Kami belum identifikasi di Perumnas Balaroa dan Kelurahan Petobo karena lokasinya sangat parah,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu Fresly Tampubolon di Palu.

Dua daerah tersebut, yakni Balaroa dan Petobo, merupakan pusat kerusakan paling dahsyat karena rumah dan fasilitas publik di titik itu tertimbun tanah bak ditelan bumi. Menurut sejumlah saksi, beberapa detik setelah gempa 7,4 SR mengguncang Palu, wilayah kelurahan itu terlihat semburan air yang cukup tinggi, lalu tiba-tiba permukaan tanah menurun sehingga ikut menarik seluruh benda di atasnya.

Bahkan, beberapa bangunan seperti masjid bergeser jauh sekitar 50 meter dari posisi semula. “Istri dan anak-anak saya tidak bisa diselamatkan. Saya perkirakan mereka terperangkap dalam rumah lalu digulung tanah,” kata Husnan, salah seorang keluarga korban.

Saat kejadian, Husnan sedang berada di kantor, sedangkan istri dan anak-anaknya ada di rumah. Kondisi yang sama juga terjadi di Kelurahan Kawatuna. Namun di lokasi itu disertai air sehingga belum memungkinkan disentuh oleh tim penanggulangan bencana.

Wakil Wali Kota Palu Sigit Purnomo Said mengatakan belum tersentuhnya dua titik bencana terparah itu karena akses yang terputus. Sigit mengatakan, tim penanggulangan bencana memprioritaskan lokasi bencana yang dapat dijangkau cepat.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis analisis singkat mengenai gempa dan tsunami yang terjadi di Palu, Sulteng. Apa yang terjadi di Kelurahan Petobo adalah fenomena likuifaksi atau pencairan tanah.
Pakar kegempaan LIPI Danny Hilman Natawidaja mengungkapkan, ada detail-detail fenomena alam yang membuat gempa dan tsunami Palu patut mendapat perhatian. “Ada tsunami yang justru terjadi di mekanisme pergerakan struktur sesar mendatar juga likuifaksi tanah,” kata dia.

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto menyebutkan, letak Kota Palu berada di atas sesar Palu-Koro. Sesar Palu-Koro adalah patahan yang membelah Sulawesi menjadi dua bagian Barat dan Timur. Pada Jumat pekan lalu, sesar itu bergerak aktif.

“Sesar ini mempunyai pergerakan aktif dan jadi perhatian para peneliti geologi,” kata Eko.

Peneliti bidang geofisika kelautan dari Pusat Penelitian Oseanografi, Nugroho Dwi Hananto menilai, ada kemungkinan bahwa sesar mendatar Palu-Koro yang memiliki komponen deformasi vertikal di dasar laut menjadi pemicu terjadinya tsunami. Ia menjelaskan, kawasan Teluk Palu hingga Donggala juga mempunyai bentuk mirip kanal tertutup dengan bentuk dasar laut yang curam.

Rifai Mardin, dosen teknik arsitektur di Unversitas Tadulako, Palu mengatakan, selain gempa dan tsunami, likuifaksi atau perubahan perilaku tanah akibat getaran gempa merupakan ancaman lain yang menghantui wilayah tersebut.Dia mengatakan, bencana ini mengakibatkan kawasan permukiman padat seperti Balaroa tenggelam. Selain itu, daerah Petobo juga hanyut akibat lumpur yang menerjang.

“Bangunan yang hancur kebanyakan akibat tsunami dan likuifaksi,” ujar Rifai.

Fenomena likuifaksi terjadi akibat tanah yang berubah menjadi lumpur seperti cairan dan kehilangan kekuatannya. Bahkan ancaman kerusakan bangunan akibat likuifaksi bisa lebih besar dari tsunami itu sendiri. Rifai menuturkan, gempa menjadi salah satu pemicu terjadinya likuifaksi. Bencana ini, imbuhnya, memakan lebih banyak korban.

“Inilah bencana yang memakan korban banyak, rumah dengan umur yang sudah sangat tua di Baloroa tidak mampu melawan bencana ini. Semua rumah hancur, masuk tenggelam dalam tanah,” ujar dia.

Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Adrin Tohari mengatakan wilayah yang berisiko tinggi mengalami likuifaksi tidak layak untuk dihuni kembali. Sebabnya, tanah tidak bisa memadat secara alami.

“Jadi kondisi tanahnya akan selalu gembur. Kalau ada gempa besar lagi, kemungkinan besar (likuifaksi) terjadi lagi,” ujarnya.KBID-NAK

Related posts

Usung Tema Puspawarni, Pemkot kembali Menggelar Surabaya Vaganza 2019

RedaksiKBID

Pimpinan dan Anggota DPRD Surabaya Mengucapkan Selamat Hari Jadi Kota Surabaya ke-731

RedaksiKBID

Mengaku Banyak Dukungan, Pak Sam Siap Maju Pilwali Lewat Jalur Independen

RedaksiKBID