KampungBerita.id
Headline Kampung Raya Surabaya Teranyar

Fasis Tuntut Kejelasan Status Hukum Tanah Surat Ijo, Komisi A Sebut Kunci Utama Ada di Kementerian Keuangan

Hearing di Komisi A DPRD Surabaya membahas permasalahan surat ijo.@KBID-2025.

KAMPUNGBERITA.ID-Upaya warga Surabaya untuk memperjuangkan status hukum lahan surat ijo yang ditempatinya tak pernah surut. Bahkan, Rabu (19/3/2025) sore,
Komisi A DPRD kota Surabaya menggelar hearing membahas pengaduan dari Forum Analisis Surabaya (Fasis) terkait permasalahan hak atas bidang tanah dan bangunan dengan status surat ijo.

Juru bicara Fasis, Johniel Lewi Santoso, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengumpulkan data terkait kepemilikan tanah dengan status surat ijo, termasuk beberapa bidang yang telah berstatus sertifikat hak milik (SHM).

Menurut dia, niatan utama forum ini adalah membantu rakyat kecil yang menggunakan tanah berstatus IPT (Izin Pemakaian Tanah) surat ijo, khususnya bagi pemilik tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 meter persegi dan lebar jalan di depannya tidak lebih dari empat meter.

“Kami sudah berkeliling ke berbagai daerah, termasuk Bandung, untuk melihat bagaimana permasalahan surat ijo ditangani di tempat lain. Bahkan, kami juga sempat berkonsultasi dengan KPK. Dari hasil konsultasi, kunci utama permasalahan ini ada di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) karena aset tanah yang berstatus surat ijo berada dalam kewenangan mereka, bukan sekadar administrasi di tangan Pemkot Surabaya,” ujar Johni.

Fasis menuntut kejelasan status hukum lahan surat ijo yang ditempati warga.@KBID-2025.

Menurut dia selama ini persoalan surat ijo sering dijadikan komoditas politik dalam setiap pemilu tanpa adanya penyelesaian nyata. Karena itu, dia mendorong agar ada kejelasan dalam regulasi, termasuk kemungkinan pembuatan peraturan daerah (perda) yang mengatur pelepasan tanah bagi rakyat kecil dengan kriteria yang jelas.

Hal senada diungkapkan Saleh Alhasni. Menurut dia, Fasis ingin hubungan hukum antara SK HPL yang diberikan negara atau Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) RI
kepada Pemkot Surabaya itu harus dijalankan sesuai dengan syarat-syarat yang ada di dalam SK tersebut.

“Syarat-syarat itu ada di Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965, sehingga kalau dijalankan sesuai dengan aturan, maka tidak akan cacat substansi dan cacat prosedur dalam perolehannya. Jadi, yang diberikan oleh masyarakat itu akan sesuai, tidak cacat hukum administrasi dan tidak melanggar UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, “jelas Saleh.

Untuk itu, lanjut dia, Pemkot Surabaya sebaiknya tidak melanjutkan yang namanya 39 sertifikat yang kemarin diterbitkan. Ini harus dihentikan dan diulang kembali pemberiannya. Karena kalau tidak sesuai dengan syarat-syarat itu dan tidak boleh membatasi dengan surat menteri yang 200 meter persegi itu karena bertentangan dengan PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan.

“Di dalam hak pengelolaan tidak ada batasan 200 meter. Jadi bebas semua di situ selama orang itu menguasai berapapun, entah itu 100 meter atau 5.000 meter lebih, itu bebas. Jadi kalau memang pemkot mau seperti itu, maka pemberian dari sertifikat lagi di atas HPL yang akan diberikan harus ada ganti untuk menyelesaikannya lebih dahulu kepada masyarakat. Kalau dia tidak bisa atau tidak mau, ada di dalam diktum keenamnya itu dikeluarkan dari SK HPL, sehingga kalau dia tidak mengeluarkan, ya pemerintah harus menanggung seperti itu,” tutur dia.

Apa harapannya? Saleh berharap dengan anggota dewan yang baru ini bisa memberikan harapan kepada warga karena dia akan didengar dan akan menjadi pintu masuk. Artinya, Surabaya akan menjadi terbuka dan jauh lebih maju. “Dari kesimpulan rapat tadi, Komisi A akan memanggil BPKAD dan meminta bukti-bukti perolehan dari Pemkot Surabaya yang selama ini tidak pernah ditunjukkan.Karwna setiap kami melakukan langkah-langkah untuk meminta itu selalu dibawa atau diarahkan ke Komisi Informasi Publik (KIP), artinya kita tidak serta merta begitu saja akan diberikan seperti itu, ” tandas dia.

Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko memimpin rapat hearing dengan Fasis dan OPD terkait.@KBID-2025.

Sementara Perwakilan Bagian Hukum dan Kerja Sama Pemkot Surabaya, Arief menyampaikan ada beberapa hal yang perlu disampaikan terhadap permasalahan ini.

“Memang sudah ada beberapa gugatan, baik itu di Pengadilan Negeri (PN) maupun di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dengan permasalahan IPT ini,” ujar dia.

Arief menerangkan, apa yang disampaikan Fasis sudah pernah disampaikan dalam gugatan baik di PN maupun PTUN Surabaya. Bahkan tidak hanya di Surabaya, mereka juga mengejar sampai di PTUN Jakarta.

Lebih jauh, Arief menjelaskan, bahwa IPT ini bukan merupakan bukti kepemilikan tanah, tetapi hanya sebuah izin yang diberikan kepada warga masyarakat untuk memanfaatkan tanah aset milik Pemkot Surabaya.

Kemudian terhadap Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2016, kata dia, memang sudah pernah dilakukan pengujian dua kali di Mahkamah Agung (MA) pada 2015 dan 2022.

“Di tahun 2016 terkait dengan izin pemakaian tanah (IPT) itu memang tetap sah berlaku seperti itu,” jelas dia.

Arief juga menyampaikan bahwa Pemkot Surabaya sudah menindaklanjuti surat dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional.

“Nomor sekian tanggal 1 Desember 2022 terkait dengan tindak lanjut penyelesaian permasalahan IPT,” ucap dia.

Intinya, kata Arief, Pemkot Surabaya sedang memfasilitasi warga masyarakat yang ingin memiliki IPT untuk menjadikannya sebagai HGB di atas HPL khusus. Kenapa diberikan kata khusus? Karena memang diberikan harga khusus untuk rumah tinggal yang luasnya tidak lebih dari 200 meter persegi.

Hal ini, menurut dia, bisa menjadi salah satu opsi kepada warga masyarakat yang memang membutuhkan bukti kepemilikan dan tidak ingin memiliki IPT.

“Jika itu adalah rumah tinggal yang luasnya tidak lebih dari 200 meter persegi itu bisa mengajukan HGB di atas HPL khusus,” ungkap dia.

Tidak hanya solusi HGB, tapi juga ada jalan keluar terkait dengan pelepasan aset di mana memang dimungkinkan aset tersebut dilepaskan.
Berdasarkan Perda Nomor Perda 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya.

Meski demikian, Arief menyatakan, ada mekanismenya karena memang tidak dimungkinkan bagi Pemkot Surabaya ini melepaskan langsung tanpa adanya persetujuan maupun pemasukan bagi pemerintah sebagai ganti ruginya.

Sampai saat ini, dia menyebut ada dua bisa mengajukan HGB di atas HPL khusus terhadap lokasi rumah yang tidak lebih dari 200 meter persegi dan juga ada dengan menggunakan pelepasan tanah.

“Ketika itu mau digunakan sebagai industri ataupun sebagai usaha bisa juga melalui HGB HPL biasa dengan mekanisme sewa yang mana mungkin akan lebih mahal karena memang didasarkan pada appraisal,” pungkas dia.

Menanggapi permasalahan ini, anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Tri Didik Adiono hanya bisa tertawa
ketika mendengar permasalahan surat ijo ini.

“Saya ini pelaku sehingga tahu persis permasalahannya,”ungkap dia.

Semenjak menjadi anggota DPRD Kota Surabaya periode 2009, Tri Didik Adiono menuturkan, pada 2010 Komisi A membentuk Panitia Khusus (Pansus) terkait surat ijo. Kala itu, Ketua Pansusnya Armuji yang sekarang menjabat Wakil Wali Kota Surabaya. Wakil Ketua Pansus Irwanto Limantoro (Demokrat) dan Sekretaris Adies Kadir (Golkar) yang sekarang menjabat Wakil Ketua DPRD RI.

Pada waktu itu, pihaknya berniat betul- betul membantu rakyat kecil yang menggunakan IPT atau surat ijo. Di antaranya ada pasal-pasal yang luasannya tidak lebih dari 200 meter persegi lebar jalannya tidak lebih dari 4 meter.

Meski begitu, menurut politisi senior PDIP, ini bukan untuk kepentingan IPT surat ijo yang digunakan untuk pengusaha, misalkan show room di Jalan Kertajaya.

“Akhirnya kami keliling berbagai daerah yang ada semacam surat ijo. Di Kota Bandung ada, tapi bukan surat ijo,”ungkap dia.

Bahkan, lanjut dia, pihaknya juga sampai ke Gedung KPK di Jalan Kuningan yang waktu itu ketuanya M. Busyro Muqoddas.

“Beliau juga menyampaikan kunci utama surat ijo itu adalah di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pemegang aset negara di seluruh Indonesia,” tutur Didik Bledek, panggilan Tri Didik Adiono.

Sedangkan Wali Kota, dia menyebut hanya sekadar administrasi. Bahkan, pansus juga pernah konsultasikan masalah ini ke Tri Rismaharini ketika masih menjabat Wali Kota Surabaya. Waktu itu, Bu Risma menyampaikan rasa takut jika melepas, meski niatan pansus untuk rakyat kecil.

“Ojo, ojo aku. Bisa dikecrek aku nanti, malah aku yang salah,” ujar dia menirukan pernyataan Risma.

Untuk itu, dia berpesan kepada Fasis terkait permasalahan surat ijo bahwa kunci utama adalah langsung ke Kementerian Keuangan
“Itu tepat sasaran dan bagaimana jawaban Kementerian Keuangan,” tandas dia

Jika Kementerian Keuangan bisa memutuskan dan memberikan arahan untuk pembuatan Perda antara DPRD dan Pemkot Surabaya, maka Komisi A siap membahasnya.

Tri Didik Adiono.@KBID-2025.

Sementara Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko menambahkan, Komisi A siap bekerja sama untuk mencari solusi terbaik bagi warga Surabaya.

Menurut dia, isu surat ijo harus dibahas secara transparan dan tidak menjadi alat politik lima tahunan. “Kami ingin agar warga Kota Surabaya mendapatkan haknya, terutama bagi masyarakat miskin. Tidak boleh ada penyalahgunaan yang menguntungkan pihak tertentu, seperti pengusaha yang memanfaatkan IPT untuk usaha showroom atau bisnis lainnya. Kami di Komisi A akan mendorong agar solusi ini difokuskan untuk rakyat kecil,”tegas Yona.

Politisi Partai Gerindra ini juga menyebut pihaknya akan mengusulkan agar tanah dengan status surat ijo yang ditempati warga miskin dapat diberikan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Namun, dia menekankan bahwa langkah tersebut harus mendapat kepastian dari Kementerian Keuangan.

“Jika Kementerian Keuangan memberikan lampu hijau, kita bisa merancang Perda sebagai dasar hukum yang jelas. Tapi jika tidak, maka segala upaya akan sia-sia. Karena itu, kita harus fokus pada jalur yang tepat agar tidak larut dalam polemik berkepanjangan,” tutur dia.

Dalam rapat tersebut, DPRD Surabaya juga menyoroti pentingnya identifikasi aset tanah yang berstatus surat ijo agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berhak. Komisi A berjanji akan terus mengawal isu ini hingga ada kepastian hukum bagi warga yang berhak.
“Rapat ini menjadi langkah awal dalam upaya memperjelas status kepemilikan tanah bagi rakyat kecil di Kota Surabaya, agar tidak lagi menjadi polemik politik yang berulang setiap pemilu,”pungkas Yona. KBID-BE

Related posts

19 Kiai Khos Jatim Bakal Antarkan Pasangan Anies-Cak Imin saat Daftar ke KPU

RedaksiKBID

Ning Ita Hadiri Perayaan Natal di GPIB Immanuel Mojokerto

RedaksiKBID

PKS Minta Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari Masuk Catatan Sejarah Nasional

RedaksiKBID