KAMPUNGBERITA.ID-Banyaknya aset Pemkot Surabaya yang belum tersertifikasi, bahkan di antara aset tersebut diduga dikuasai pihak ketiga menjadi perhatian serius DPRD Kota Surabaya.
Anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Moch Machmud menyampaikan ketika Komisi A rapat dengan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Surabaya, ternyata sudah banyak kemajuan. Artinya, aset yang disertifikatkan bertambah. Dari total 8.452 aset atau lahan milik Pemkot Surabaya yang sudah teregister, ada 5.309 yang sudah bersertifikat.
Memang, sejak Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjabat Menteri Agraria dan Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian ATR/BPN telah berhasil mendaftarkan 113 juta bidang tanah dari total 126 juta bidang tanah yang ada di Indonesia. Pada 2024, targetnya bisa mewujudkan 120 juta bidang tanah terdaftar.
“Zaman AHY penyelesaian masalah tanah kian banyak, termasuk di Surabaya. Karena tidak ada istilah ruwet, mafia tanah pun disikat,” ujar dia, Jumat (14/6/2024).
Politisi Partai Demokrat ini menjelaskan, orang yang berkonflik dan tidak punya sertifikat asli, tiba-tiba muncul dan mengklaim terhadap objek tanah, padahal tanah tersebut ada pemiliknya. Karena itu, mafia tanahnya yang harus disikat. Sehingga pemilik tanah tersebut jadi tenang.
Untuk di Surabaya, Machmud mengajak warga untuk memanfaatkan program dari AHY, yakni Percepatan Sertifikasi Lahan (PSL).
“Ayo manfaatkan program tersebut. Apalagi, aset Pemkot Surabaya yang belum tersertifikasi saya dengar tinggal sisa-sisa saja yang masih konflik dengan warga, konflik warga dengan pengusaha dan lain-lain klasifikasinya. Masalah inipun akan selesai dengan program AHY, ” ungkap Machmud.
Soal target Pemkot Surabaya menuntaskan sertifikasi 1.100 aset di 2024, apa bisa tercapai? Menurut mantan jurnalis ini target tersebut bisa tercapai, asalkan Pemkot Surabaya sendiri segera melengkapi data-datanya dan BPN juga ada tim khusus yang mengurusi aset tersebut.
Di Pemkot Surabaya sendiri sebenarnya semua aset , baik aset
bergerak maupun tidak bergerak, seperti bangunan dan tanah, sudah masuk Sistem Informasi Manajemen Barang Milik Daerah (SIMBADA).
“Aset milik Pemkot Surabaya sudah terbaca di situ (SIMBADA), tinggal dibreakdown lagi dan disetorkan ke BPN sehingga diproses secara khusus. Kalau tidak, ya nanti bisa campur aduk dengan aset masyarakat umum,” tandas Machmud.
Terkait aset ini, Machmud menyarankan Pemkot Surabaya jangan lambat atau lemot. Artinya harus gerak cepat (gercep) karena banyak tanah aset milik Pemkot Surabaya, khususnya di Surabaya Barat yang ditempati warga.
Ketika satu dua warga yang menempati aset tersebut dibiarkan oleh lurah atau camat, seakan- akan mereka tidak tahu, tetapi ketika sudah banyak warganya, bahkan sudah menjadi kampung satu RT, baru bertindak. Akhirnya, kesulitan untuk mengamankan aset tersebut.
“Saya minta Pak Eri Cahyadi memaksimalkan peran lurah dan camat yang menjadi wakil pemkot di wilayah lebih kecil. Lurah ini harus sering turun dan melihat serta memberi laporan. Kalau laporannya itu tak digubris, ya harus dilakukan lagi sampai ditanggapi. Biar jika ada masalah para lurah tak disalahkan,” tandas dia.
Bagaimana jika ada lurah atau camat terlibat mafia tanah dalam pelepasan aset milik Pemkot Surabaya atau warga? Dengan tegas Machmud menyatakan, harus disikat. “Tidak boleh dibiarkan itu terjadi,” pungkas dia.
Sebelumnya Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Surabaya, Wiwiek Widayati menjelaskan, hingga Desember 2023, ada 5.309 register tanah aset yang telah bersertifikat. Jumlah itu dari total 8.452 register tanah milik Pemkot Surabaya.
“Upaya sertifikasi terus dilakukan dan sampai dengan Mei 2024, telah terbit sertifikat sejumlah 108 register,” kata Wiwiek.
Selain sertifikasi, Pemkot Surabaya juga melakukan pengamanan fisik aset melalui pemasangan papan, patok batas, atau pagar. Hingga Mei 2024, pengamanan fisik telah dilakukan terhadap 1.078 register.
Dia juga memastikan, pihaknya akan terus berupaya melakukan pengamanan aset milik Pemkot Surabaya yang tengah dikuasai pihak ketiga. Berbagai upaya pun dilakukan mulai dari pencatatan administrasi hingga memastikan batas-batas tanah aset.
Selain itu, upaya lain yang dilakukan adalah berkoordinasi dengan Perangkat Daerah (PD) Pengguna dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Surabaya. Termasuk koordinasi dengan pihak kecamatan dan kelurahan untuk memperkuat riwayat perolehan tanah aset.
“Pengamanan dilakukan kepada semua jenis tanah aset Pemkot Surabaya, baik secara administrasi, fisik, dan hukum,” tegas Wiwiek.
Dalam prosesnya, Wiwiek menegaskan bahwa Pemkot Surabaya juga menggandeng Aparat Penegak Hukum (APH) untuk pendampingan dan bantuan pengamanan aset. APH yang terlibat antara lain Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kami juga berkoordinasi dengan instansi terkait antara lain Badan Pertanahan Nasional (BPN), Balai Harta Peninggalan (BHP), dan Kanwil Kemenkumham untuk mencari data dan pertimbangan data,” ungkap dia.
Menurut Wiwiek, rata-rata proses penyelamatan aset memiliki jangka waktu penyelesaian yang relatif berbeda. Baik penyelesaian yang dilakukan melalui jalur non-litigasi maupun litigasi.
“Terdapat permasalahan tanah aset yang butuh waktu kurang lebih 7 tahun, namun ada juga yang bisa diamankan kurang dari setahun,” jelas dia seraya menambahkan
saat ini ada beberapa aset milik pemkot yang masih dalam proses pengamanan karena dikuasai pihak ketiga. Aset-aset tersebut tersebar di beberapa wilayah Surabaya. Di antaranya, di Jalan Kejawan Putih Tambak, Jalan Margorejo dan dua persil aset di Jalan Pandegiling.
Kemudian di Jalan Raya Tenggilis Mejoyo, Jalan Cempaka Surabaya (Komplek Eyang Kudo), Jalan Ikan Dorang, dan Jalan Pogot.
Mafia Tanah
Terkait mafia tanah, praktisi hukum Dr Ir Albert Kuhon MS SH menjelaskan, bahwa mafia tanah itu adalah mafia peradilan (mafia hukum) yang merupakan kolaborasi atau persekongkolan jahat dari sejumlah ahli hukum (lawyer), penegak hukum, pejabat sipil, pengusaha, juga kadang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lalu, bukan mustahil juga ada yang menyebut dirinya seolah-olah orang kecil yang maju ke depan, tapi sebenarnya itu merupakan kekuatan besar dengan modal besar.
Yang jadi korban mafia tanah, kata Kuhon, mulai dari orang baik sampai orang jahat, mulai orang miskin sampai orang kaya. Kalau kebetulan korbannya itu orang miskin, tidak akan mampu melawan habis-habisan. Karena mafia tanah ini biasanya punya modal dan kekuatan yang cukup besar.
” Ya, masih bagus kalau korbannya itu adalah orang kaya atau berduit, bisa melakukan perlawanan, ” tutur dia.
Apa solusinya? Menurut dia, mafia tanah itu harus diganyang. Dalam Focus Group Discussion (FGD) beberapa waktu lalu, kata dia, salah satu hukuman buat mafia tanah, kalau terbukti bersalah, harus dihukum yang membuatnya jera. Tentu dengan penerapan hukuman yang berat kepada mereka. Misalnya hukuman 10 tahun penjara dengan diikuti perampasan aset. Namun dengan penerapan pasal-pasal dalam KUHP, hukuman untuk mafia tanah masih belum seberat itu. “Untuk mewujudkannya bisa dengan membentuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Mafia Tanah, ” tutur dia.
Selama ini mafia tanah dengan modusnya yang sistematis dijerat dengan pasal 378 KUHP tentang Penipuan. Pasal 372 tentang Penggelapan atau pasal 263 dan 266 tentang Pemalsuan. Ancaman pidana maksimal pelaku penipuan dan penggelapan hanya empat tahun, sedangkan pemalsuan enam tahun penjara.
Ancaman hukuman yang masih ringan untuk mafia tanah. Masih belum sebanding dengan dampak dari perbuatannya yang cukup luas. Itupun belum tentu semua mafia tanah dihukum maksimal.
Berdasarkan pengalaman dan fakta-fakta persidangan, rata-rata hukuman maksimal bagi pelaku mafia tanah hanya dua hingga tiga tahun penjara. Bahkan, ada yang dihukum hanya beberapa bulan saja. Itupun pelaku ketika menjalani proses hukum tidak ditahan di penjara. Karena penahanannya ditangguhkan penegak hukum dengan berbagai macam alasan.
“Kita harus berani melawan. Jangan biarkan mafia tanah leluasa karena kalau dibiarkan akan merajalela,” tandas dia.
Ditanya kenapa mafia tanah sulit diberantas, Kuhon mengungkap bahwa praktik mafia tanah dapat berjalan langgeng karena melibatkan oknum dari unsur pemerintahan atau penguasa, pengusaha, dan kaum pemegang kapital.
“Selama ini mafia tanah sulit diberantas karena melibatkan oknum dari unsur pemerintahan. Mulai lurah hingga kadang pejabat Bupati. Jadi kolusi ini melibatkan banyak pihak, ada penguasa di situ, kadang ada orang pengadilan, penegak hukum dan lain sebagainya. Bahkan, seolah-olah ia tampil seperti orang teraniaya,”beber dia.
Karena itu,dia mengapresiasi inovasi dan langkah cerdas Polri membentuk satgas mafia tanah. Ini menunjukkan iktikad baik kepolisian menuntaskan praktik mafia tanah. KBID-BE