KAMPUNGBERITA.ID – Desa Galengdowo, Wonosalam, Jombang cukup terkenal dengan hasil perkebunan berupa durian. Ternyata, di desa tersebut juga banyak petani membudidayakan salak dengn cara organik.
Cahyono (40) tahun, salah satu petani salak Galengdowo menuturkan, perkebunan salak organik di kampung tersebut sudah diakui oleh Pemprov Jatim.
“Kalau saya pakai pupuk organik, pupuk kandang dan kompos dari kulit kopi,” kata dia.
Kebun milik Cahyono seluas 3.000 meter persegi, penuh dengan pohon salak jenis Pondoh Lumut. Selain buahnya berukuran besar, salak jenis ini mempunyai rasa yang manis.
Sayangnya, lanjut Cahyono, manisnya salak petani Galengdowo, tak semanis harga jualnya saat ini. Di tengah panen raya, harga jual salak mereka justru anjlok.
Di masa panen raya tahun lalu, salak organik di Desa Galengdowo masih dihargai Rp 7.000/Kg. Saat ini harga salak hanya Rp 5 ribu/Kg.
Meski tak sampai merugi, harga jual itu tak sebanding dengan jerih payah para petani.
Itu tak lepas dari keterbatasan para petani terhadap akses pemasaran. Sehingga mereka harus menjual melalui para tengkulak. Salak tetap mereka jual dengan harga murah agar tak membusuk.
“Harapannya pemerintah supaya membantu alat pengolahan salak dan pemasarannya,” ujarnya.
Tanaman salak yang dibudidayakan Cahyono, tergolong produktif. Dalam sebulan, dirinya mampu memanen salak hingga empat kali. “Di masa panen, sekali petik bisa 4-5 kuintal,” terangnya.
Agar hasil panen melimpah, para petani salak Galengdowo menggunakan metode penyerbukan secara manual. Serbuk bunga jantan ditaburkan ke bunga betina yang ada di tangkai pohon salak. Agar tak rusak terkena hujan, bunga yang sudah dibuahi, ditutup dengan gelas plastik bekas. KBID-JMB