KAMPUNGBERITA.ID-Penataan kawasan wisata religi Sunan Ampel oleh Pemkot Surabaya dengan mengubah eks Rumah Potong Hewan (RPH) Pegirian menjadi tempat kuliner baru, diharapkan bisa meningkatkan perekonomian usaha mikro kecil menengah (UMKM) di kawasan itu. Apalagi, tempat kuliner bernama ‘Serambi Ampel’ itu untuk menampung para PKL dari tiga kecamatan, yakni Simokerto, Pabean Cantian, dan Semampir.
Hanya saja relokasi pedagang itu mendapat sorotan tajam dari anggota DPRD Kota Surabaya, Camelia Habiba. Dia melihat Pemkot Surabaya atau Wali Kota Eri Cahyadi hanya numpang beken saja.
Menurut dia, momentum relokasi PKL di saat bulan Ramadan sangat tidak tepat. Kenapa demikian? “Kami melihat Serambi Ampel ini belum siap menampung para PKL,” ujar dia, Selasa (26/3/2024) sore.
Seharusnya, kata dia, jumlah PKL di sana didata lebih dulu dan berapa kebutuhan stannya. Setelah didata, ajak para PKL itu bicara.
“Jangan sampai terjadi kegagalan yang kedua. Seperti PKL di atas box culvert Pegirian yang tidak sesuai dengan harapan para pedagang, ” ungkap dia.
Selain itu, Habiba yang juga anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya ini juga melihat banyak muncul oknum yang mengatasnamakan koordinator PKL Serambi Ampel dan perwakilan Pemkot Surabaya. Padahal, diakui Habiba, mereka ini bukan aparatur sipil negara (ASN), bukan pegawai pemkot, dan juga bukan pedagang. Anehnya lagi, mereka ini bisa buka lapak bagi orang yang mendaftar untuk ambil stan di sana.
Dia menegaskan, jumlah PKL di kawasan Ampel itu lebih dari 300 orang. Karena mereka berasal dari tiga kecamatan, yakni Kecamatan Simokerto, Pabean Cantian, dan Semampir. PKL ini tersebar di Jalan Pegirian, Jalan Nyamplungan, dan Jalan KH Mas Mansyur.
“Kalau itu didata jumlah PKL-nya ada sekitar 300 orang. Sedangkan stan yang tersedia tidak sampai 100 karena tempat relokasi memang belum selesai. Akhirnya apa? Para pedagang yang jualan dibagi tiga shift,”beber dia.
Dengan kondisi seperti itu, lanjut politisi PKB ini, pembagian tiga shift sangat menyulitkan PKL yang berjualan makanan. Rombong dan peralatannya ditaruh di mana, ketika mereka harus bergantian berjualan.
“Para pedagang ada yang disuruh jualan siang. Lantas siapa yang mau makan, ini kan bulan Ramadan. Pembagian shiftnya ini perlu dipertanyakan, karena tidak masuk logika,” tegas dia.
Selain itu, Habiba juga meminta Pemkot Surabaya mengusut tuntas oknum yang mengatasnamakan pemkot. Padahal, statusnya bukan pegawai pemkot.
Lebih jauh, Ketua PC Fatayat NU Kota Surabaya ini menyampaikan, bahwa bagaimanapun keberadaan Sunan Ampel ketika masuk ke Pulau Jawa itu dengan cara berdagang. Nilai syi’ar awalnya itu dagang, sehingga perilaku di kawasan Ampel ditunjukkan dengan cara berdagang. Jadi, ada magnet Sunan Ampel.
Untuk itu, dia berharap pada bulan Ramadan ini, PKL diberi kesempatan untuk meraih berkah Ramadan. “Biarkan tanggal 15-29 Ramadan ini mereka tetap berjualan,” tandas dia.
Apalagi, para pedagang siap membuat surat pakta integritas, kesanggupan untuk pindah ke lokasi baru setelah Ramadan. “Ajak mereka bicara, lakukan penataan yang baik, konsep yang baik, dan bentuk paguyuban dari kalangan pedagang. Karena kami menengarai ketua paguyubannya bukan dari kalangan pedagang. Intinya, para pedagang siap untuk ditata,”tambah dia.
Yang terjadi saat ini, tutur Habiba, para pedagang langsung diobrak tanpa ada solusi atau jalan keluar. Dampaknya, ada PKL yang makanannya basi karena tiga hari tidak lalu.
Pada bulan Ramadan ini, kata Habiba, yang diharapkan PKL adalah malam 10 akhir Ramadan, di mana banyak peziarah yang memberikan berkah di Ampel. Tapi harapan mereka pupus ketika ditertibkan dan direlokasi ke Serambi Ampel.
Apa sosialisasi dari Pemkot Surabaya kurang maksimal? Habiba menuturkan, sosialisasi yang dilakukan pemkot hanya pengumuman bahwa PKL yang akan ditertibkan. Seharusnya, menurut dia, ketika Pemkot Surabaya mau mendesain tempat atau membuat program ajaklah objek yang bakal menikmati.
Kumpulkan perwakilan pedagang di tiga lokasi tersebut, di situ kan ada koordinator-koordinator PKL. Mereka maunya seperti apa. Sekarang begini, jual makanan dan minuman itu mejanya sama, apakah itu yang dinamakan adil? Tidak, karena beda kebutuhan. Pedagang yang jual makanan mejanya harus lebih luas. Enggak jual kopi, kopi semua, jual makanan, makanan semua. Seharusnya selang seling, lima makanan dan dua minuman di tengahnya. Ini harus dikonsep dan yang tahu jiwa itu adalah pedagang. Karena pegawai pemkot tak punya jiwa dagang.
“Sekali lagi, seharusnya objek diajak bicara. Sehingga anggaran besar yang disiapkan pemerintah itu tidak sia-sia. Makanya, kalau pemkot masih menggunakan sikap arogansi,
saya tidak yakin (Serambi Ampel) itu bisa bertahan lama di sana,” tegas dia.
Karena itu, Habiba berharap Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi mempunyai hati nurani untuk memberikan kesempatan pedagang guna meraih berkah di 10 akhir Ramadan lewat peziarah di sana, dan tidak menyulitkan peziarah atau musafir yang mencari menu-menu untuk sahur atau berbuka di sana.
Untuk menemukan solusi, Habiba menyarankan para pedagang dan pemkot duduk bersama. Kalau pemkot bersikukuh bahwa kawasan Ampel harus bagus, dirinya juga setuju dan mendukung sepenuhnya program tersebut. Hanya saja, program itu jangan merugikan pedagang.
Jika toh Pemkot Surabaya tak bisa memberikan kesempatan PKL berjualan hingga Ramadan selesai, Habiba berharap Pemkot Surabaya memberikan bingkisan yang sesuai kepada para PKL. Sehingga mereka bisa menikmati Hari Raya Idul Fitri dengan bahagia, bukan penderitaan.
“Kalau situasinya tetap seperti ini, maka penataan kawasan Ampel patut dipertanyakan, apakah menjadi berkah bagi pedagang atau malah jadi musibah, ” pungkas dia. KBID-BE