KAMPUNGBERITA.ID-Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Jatim 2022 untuk jenjang SMA memasuki tahap akhir, yakni tahap 4 jalur zonasi dan ditutup pada 2 Juli 2022 kemarin. Namun meninggalkan ketidakadilan bagi warga Surabaya.
Wakil Ketua DPRD Surabaya A.H Thony banyak menerima keluhan masalah pendidikan di Kota Surabaya, terutama pada sekolah di tingkat lanjutan atas (SMA/SMK).
Sejarah SMA dan SMK Kota Surabaya diambil oleh Pemprov Jatim memang berdasarkan Undang- Undang (UU) dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sudah mencoba memperjuangkan keberadaannya di Surabaya, namun kalah.
Seiring berjalannya waktu, menurut Thony, Pemprov Jatim selaku dirigen yang mengatur masalah pendidikan untuk sekolah lanjutan atas, tidak lebih baik dalam pengelolaannya, sehingga banyak terjadi ‘ketidakadilan’.
Salah satu contoh, Pemprov Jatim seperti membiarkan siswa-siswinya lulus tanpa ijazah karena masih tertahan masalah pelunasan. Bahkan, pihak Dinas Pendidikan bersikukuh tidak mengakui adanya penahanan lebih dari seribu ijazah siswa tersebut.
Sejak diakusisi Pemprov pun, siswa SMA/SMK Negeri masih dibebani biaya sekolah. Meski SPP gratis, tapi tetap harus beli seragam dan uang komite dengan dalih digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana prasarana.
Namun dengan adanya kewajiban biaya tersebut, tidak terlihat peningkatan terutama pembangunan sekolah-sekolah baru di Surabaya dalam rangka memenuhi kebutuhan zonasi.
Berdalih pemprov tidak punya lahan,Thony menilai itu bukan alasan, karena yang namanya kepentingan negara, sangat mudah untuk diupayakan.
Lebih lanjut, politisi Partai Gerindra ini menilai rezim pendidikan yang diterapkan Pemprov Jatim ‘tidak mencerminkan keadilan’.
Yang menarik sekarang,lanjut dia, adalah PPDB banyak yang menjadikan komoditas.
“Dijual dijadikan komoditas. Masuk SMA/SMK Negeri dengan membayar Rp10 hingga 70 jutaan. Miris sekali,”ungkap dia, Senin (4/7/2022).
Penerimaan siswa baru (PPDB), dilakukan melalui 3 jalur, yakni jalur afirmasi, prestasi, zonasi. Kemudian yang miris ada pula ‘jalur rekomendasi’. Meski tidak dipermukaan, namun memang banyak penawaran masuk sekolah negeri dengan cara membayar Rp 10 hingga 70 juta tergantung grade sekolahnya, dan sudah terbukti banyak yang masuk melalui jalur ini.
Jalur afirmasi diperuntukkan untuk mitra warga, perpindahan tugas, dan prestasi lomba. Jalur mitra warga diperuntukkan bagi warga tidak mampu yang di Kota Surabaya disebut masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun sampai dengan hari ini, parameter MBR di Surabaya masih belum jelas, bahkan baru-baru ini dilakukan perampingan.
Sementara untuk prestasi olahraga, masyarakat banyak yang belum tahu kriteria apa yang dibutuhkan jika masuk melalui jalur ini, sehingga banyak yang merasa tertipu.
Terkait jalur prestasi akademik memang minim permasalahan, namun yang sangat banyak menjadi masalah adalah Jalur zonasi.
Untuk jalur zonasi, Thony mengajak untuk membayangkan. “Misalkan siswa dari kecamatan Wonokromo ingin masuk SMA Negeri, sedangkan di kecamatan tersebut tidak ada SMA Negeri. Sampai kiamat-pun siswa-siswi di Wonokromo tidak bisa masuk SMA Negeri jika menggunakan jalur zonasi,” ungkap Thony.
Dari situ bisa dianggap banyak limbah sistem di PPDB Jatim, karena banyak sekali siswa yang tidak akan terkaver. Terlebih tidak ada sebuah solusi yang baik yang dilakukan oleh Pemprov Jatim.
Menyikapi hal ini, Thony menganggap perlu adanya pemikiran yang baik dalam mengatasi ketidakadilan pendidikan ini. Dia menyarankan perlunya dibuatkan sebuah jalur lagi, yakni jalur rekomendasi.
”Tapi ini jalur yang resmi dibuat oleh Pemkot Surabaya,”tandas dia.
Siswa yang masuk jenjang SMA dan tidak terakomodir sistem ini, seharusnya dapat ditampung seperti pada Pendidikan Luar Sekolah (PLS) atau istilah yang lain, setingkat SMA di setiap kecamatan.
“Kalau perlu, ini dibiayai oleh kota, sekaligus sebagai perlawanan terhadap provinsi yang tidak bisa memberikan solusi,” tegas AH Thony.
Menurut dia, ini merupakan sebuah terobosan karena tidak bisa mengandalkan sistem yang dibuat Pemprov yang terbukti banyak terjadi ketidakadilan. Ada masyarakat yang ingin bersekolah tetapi tidak terakomodir, dan ketika harus masuk swasta, tidak ada kemampuan.
“Istilahnya ini adalah ‘Out of the Box’ atau keluar dari bingkai regulasi yang ada, dan ini harus dilawan dengan jalur politik,”ungkap dia.
Tony pun merasa apa yang sudah dilakukan Wali Kota melalui Baznas menebus ijazah ribuan siswa, sudah tepat meskipun ini bukan solusi dan hanya masalah ‘kedaruratan’ agar siswa dapat masuk ke jenjang berikutnya. Karena setelah ijazah dibebaskan, mereka masih harus tergilas dengan sistem ya ada.
“Mengambil ijazah saja tak bisa, apalagi kemudian diperhadapkan dengan masuk sekolah berbayar jutaan. Ini ada, dan pemprov jangan menutup mata dan jangan hanya bertopeng dengan sistem Pemerintah Pusat yang mempresentasikannya,”tandas Thony.
Karena itu, jika toh Pemprov ‘merasa bisa’ memperhatikan pendidikan siswa-siswi di Jatim, Thony meminta harus ada langkah-langkah yang solutif. “Jangan hanya berpangku pada sistem yang tidak memberikan keadilan khususnya di Surabaya,” pungkas dia.KBID-BE