
KAMPUNGBERITA.ID – Kekerasan hingga berujung pembantaian etnis minirotas Rohingnya di Myanmar terus berlanjut. Ratusan muslim tak terkecuali wanita dan anak-anak ikut menjadi korban. Kondisi tersebut memicu reaksi keras dunia internasional. Semua menilai, Myanmar harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di negera tersebut.
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin yang membidangi urusan luar negeri menyatakan, komunitas ASEAN harus kompak menekan Myanmar agar menghentikan kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya di Rakhine. Menurutnya, hak-hak seluruh pengungsi maupun etnis Rohingya harus dikembalikan, serta mendapat jaminan perlindungan dari negara yang pernah dikuasai junta militer itu.
Menurutnya, apa yang terjadi di Myanmar sungguh sudah di luar batas. Terlebih, di negara tersebut ada sosok Aung San Suu Kyi yang merain nobel perdamaian dan kini memiliki posisi sebagai penasihan negara. Namun, terhadap peristiwa pembantaian etnis Rohingnya dia diam saja.
”Mestinya Nobel untuk Suu Kyi dicabut. Sebab, tokoh dunia kelahiran 19 Juni 1945 itu ternyata tidak menunjukkan sikap layaknya penyeru perdamaian, bahkan ketika punya posisi penting dan menentukan.,” katanya.
Desakan agar nobel perdamaian yang disematkan ke Suu Kyi dicabut jauh-jauh hari dilontarkan PP Muhammadiyah. Hal ini lantaran bekas oposisi yang ini menjadi penasehat khusus Pemerintah Myanmar itu dianggap membiarkan kekejaman terhadap etnis Rohingya oleh Pemerintah Myanmar terus berlangsung.
Meski tak menjabat secara formal dalam struktur pemerintah, Aung San Suu Kyi dipercaya sebagai pemimpin de fakto Myanmar saat ini. “Aung San Suu Kyu justru memperburuk kedaaan,” kata Ketua PP Muhammadiyah Bahtiar Effendi.
Dalam pernyataannya, Muhammadiyah meminta masyarakat internasional untuk turut menekan Pemerintah Myanmar agar menghentikan pembantaian terhadap kaum Rohingya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diminta turun tangan menghentikan krisis kemanusiaan Rohingya.
Kepada Pemerintah Bangladesh, PP Muhammadiyah juga meminta negara tersebut membuka perbatasan untuk alasan kemanusiaan. “PBB menyebut Rohingya sebagai etnis paling tertindas di muka bumi. Mereka tertolak di Myanmar dan tertindas di Bangladesh. Karena ketidakjelasan identitas ini akhirnya akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal layak sangat terbatas,” ucap dia.
Muhammadiyah juga meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk mempertimbangkan penyediaan kawasan bagi pengungsi dari etnis Rohingya. Bahtiar Effendi mengatakan upaya tersebut dianggap bisa membantu etnis Rohingya yang kini tengah mendapat persekusi dari pemerintah Myanmar.
Cara ini pernah dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap pengungsi Vietnam beberapa tahun silam. Pemerintah Indonesia menyediakan kawasan Pulau Galang, Batam sebagai tempat menampung para pengungsi akibat Perang Vietnam.
“Kami juga meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan diplomasi yang selama ini diterapkan kepada Myanmar karena tidak terbukti menghentikan Myanmar melakukan praktik Genosida terhadap etnis Rohingya,” kata Bahtiar.
Bahtiar mengatakan, krisis Myanmar jika dibiarkan bisa mengancam stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara karena akan menumbuhkan perlawanan terhadap Myanmar, perdagangan manusia, dan imigran ilegal yang bisa membanjiri kawasan. KBID-PJK