KAMPUNGBRRITA.ID -Komisi B DPRD Kota Surabaya menyarankan adanya revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Rumah Potong Hewan (RPH). Ini agar BUMD milik Pemkot Surabaya ini memiliki kewenangan dalam mengendalikan harga daging di Surabaya.
Sebab, selama RPH tak memiliki kewenangan mengontrol peredaran daging, maka perusahaan tersebut tidak bisa berfungsi secara maksimal sebagai institusi BUMD milik Pemkot Surabaya. Akibatnya, perusahaan tersebut terus dibayangi kerugian. Apalagi, tarif jasa potong sangat rendah.
Anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya, John Thamrun mengatakan, Perda tentang RPH ini sudah cukup lama yaitu sejak 1988, maka merupakan suatu urgensi Perda RPH ini harus diperbaiki, termasuk kewenangan RPH ini harus diberikan lebih. Hal ini agar peredaran daging di Surabaya bisa lebih terkendali dari segi harga dan terkontrol dari segi kualitas, termasuk di dalamnya mengatur tentang peredaran daging sapi impor. “Karena kalau itu dikendalikan RPH, maka tidak ada institusi lain yang bisa mengendalikannya,” ujar dia, Kamis (6/1/2022).
John Tamrun menandaskan, jika bicara soal Surabaya, maka kewenangannya ada di Surabaya, bukan yang lainnya. Untuk itu, RPH harus memiliki kewenangan lebih luas. Contohnya, ketika harga daging sapi di pasar melonjak tajam, RPH tidak berdaya untuk menekan harga. “Ini seharusnya kewenangan RPH. Karena itu, kami minta Perda RPH direvisi agar lebih maksimal dalam mengendalikan harga dan peredaran daging di Surabaya,”tegasnya.
Lebih jauh, dia menegaskan, kalau perda diperbaharui dan perda ini bisa memberikan kewenangan yang cukup, maka RPH bisa intervensi agar harga daging di pasaran tak naik, tapi bisa dikendalikan demi kepentingan masyarakat. Untuk mengendalikan harga daging, apakah RPH perlu impor sapi dan sebagainya? John Thamrun menegaskan, jika itu kebebasan setiap usaha. Tapi RPH ini lebih berfungsi pada kontrol tata cara harga dan kualitas. “Komisi B minta fungsi lebih untuk RPH, ” tandas dia.
Terkait pendapatan RPH yang lebih sedikit dibanding biaya operasional, sekali lagi John Thamrun menyatakan langkah pertama yang harus dilakukan adalah merivisi perda dan memberikan fungsi lebih kepada RPH untuk bisa mengembalikan antara input (pemasukan) dan output (pengeluaran) dari segi keuangan. Selama perda itu belum direvisi, tidak akan pernah bisa. ” Untuk revisi perda ini nunggu dirut terpilih. Ya, kita tunggu yang definitif, sehingga usulan revisi perda bisa dilakukan, ” pungkas dia.
Mengenai pengadaan sapi, Plt Direktur Utama (Dirut) RPH Surabaya, M Faiz mengatakan, jika saat ini sudah masuk tahap pembuatan MoU dengan rekanan RPH. Jadi tinggal pelaksanaan saja. Sebenarnya, kata dia, RPH tidak ada rencana impor sapi atau beli sapi lokal, tapi dikerjasamakan dengan pihak kedua. Misalnya, kalau sapi impor kerjasama dengan PT Santosa Agrindo (Santori) dan PT Sedana. “Jadi pendapatan RPH ini hanya dari jasa potong. Adapun tarif jasa potong, sapi Rp 50 ribu/ekor, babi Rp 65 ribu/ekor, kambing Rp 7.500. Ini lebih mahal soto satu mangkok, “tandas dia. KBID-PAR