KampungBerita.id
Lakone Teranyar

Dirjen Jadi Tersangka, Menteri atau Mafia Migor?

Ghilan Hafizh Khusnudin
Ghilan Hafizh Khusnudin.@KBID2022

PUBLIK dibuat gempar dengan berita penetapan seorang direktur jenderal (dirjen) di Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebagai tersangka kasus kelangkaan minyak goreng (migor). Adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardana (IWW) yang ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan penyelewengan atau korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah.

Sontak, hal ini membuat masyarakat geram lantaran sudah cukup lama dibuat ‘sengsara’ dengan kelangkaan dan mahalnya minyak goreng. Terlebih, para pelaku tak lain adalah para pemegang kebijakan dan perusahaan-perusahaan eksportir CPO.

IWW ditetapkan tersangka bersama tiga bos perusahaan lantaran dugaan  pemufakatan jahat melakukan ekspor CPO meski ketiga perusahaan tersebut tidak memiliki kewenangan untuk melakukan ekspor. Hal ini mengakibatkan defisit stok minyak goreng dari hasil produksi di dalam negeri menipis. Belakangan terjadi krisis kelangkaan dan harga yang mahal.

Dugaan-dugaan masyarakat tentang langkanya minyak goreng disebabkan oleh ekspor minyak yang berlebihan ini tentu bukan sebuah gossip belaka setelah penangkapan Dirjen Kementrian Perdagangan ini, dan juga pernyataan Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi yang berterus terang tidak mampu menormalisasi harga minyak goreng. Itu artinya, ada kekuatan besar (mafia) yang memang membuat pemerintah tidak berkutik mengambil kebijakan.

Secara teori ekonomi hukum penawaran jumlah barang yang ditawarkan (supply) akan selalu berbanding lurus dengan harganya (demand), intinya dalam hukum market supply demand ini harga barang akan naik jika permintaan juga tinggi. Yang terjadi dalam dunia internasional saat ini adalah permintaan CPOatau bahan dasar minyak goreng yang tinggi sehingga negara-negara berlomba-lomba untuk mengambil keuntungan.

Penangkapan Dirjen Kementrian Perdagangan dengan dugaan penyelewengan ekspor CPO ini tentu bukan tak beralasan karena pada posisi itulah kebijakan ekspor impor ditetapkan termasuk ekspor CPO dengan permintaan dunia yang sedang tinggi.
Menurut data yang didapat dari Refinitiv, harga ekspor CPO dunia per 21 April 2022 adalah sebesar MYR 6.340/ton yang dimana harga ini naik sebesar hampir 40 persen dari bulan Januari yaitu sebesar MYR 4857/ton.

Sementara itu Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melaporkan bahwa Indonesia telah mengekspor sebanyak 2.098 juta ton CPO dan produk olahannya pada Februari 2022.

Disisi lainnya pemerintah Indonesia telah mulai mencabut peraturan Harga Tinggi Eceran (HET) minyak goreng yang ada dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit, yang perincian peraturannya adalah:

Harga minyak goreng curah sebesar Rp 11.500 per liter. Harga minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp 13.500 per liter. Harga minyak goreng kemasan premium sebesar Rp 14.000 per liter.
Anehnya saat kebijakan HET ini diterapkan minyak goreng sangat langka di pasaran, namun saat peraturan HET ini mulai dicabut yaitu pada 16 Maret lalu stok minyak goreng membanjiri pasaran dengan harga yang bahkan sempat mencapai 50 ribu per 2 liter.

Lalu tepatkah kebijakan ini? Jika dilihat dari segi kemanusiaan tentu sangatlah tidak bisa dibenarkan karena dampaknya yang sangat menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia bagaimana bisa seorang pemangku kebijakan yang seharusnya mementingkan kebutuhan masyarakatnya justru malah menyengsarakan.

Lain halnya jika kasus mafia ini dilihat dari sisi ekonomi kapital, yang berasumsi dasar dan bertujuan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal seminimal mungkin, mungkin memang tujuannya untuk mencari keuntungan, tetapi kemana larinya keuntungan itu? Untuk masyrakatkah?
Sehingga kebijakan-kebijakan para pemangku kebijakan yang terus menerus menyengsarakan rakyat ini harusnya yang dihentikan, bukan individu perorangan yang diganti atau orang yang menyuarakan perubahan tetapi malah menjadi mafia itu sendiri. Paradigma pemikiran mengambil keuntungan dan mengesampingkan maslahat masyrakat menurut saya tidak bisa dijadikan dan dibenarkan dalam memilih kebijakan di ranah pemerintahan karena mau bagiamanapun tetap pemerintah lah garda terdepan bagi kehidupan dan segala urusan masyarakat sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil seharusnya berlandaskan maslahat atau kepentingan masyarakatnya.

Kesalahan-kesalahan pada pengambilan kebijakan ini tentu didukung dengan adanya lingkungan birokrasi yang kotor dan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan. Tak heran jika banyak pemangku kebijakan atau bahkan Menteri sekalipun yang melakukan korupsi.

Naiknya harga-harga barang yang tidak jelas sebabnya tentu juga harus diusut tuntas karena siapa yang bisa menjamin akan hilangnya mafia-mafia yang ada di dalam bangku pemerintahan. Dengan berita penangkapan Dirjen Perdagangan Luar Negeri di Kementerian Perdagangan yang sudah menyengsarakan rakyat ini apakah masih layak dikatakan sebagai pahlawan negara atau hanya sekedar mafia?.(*)

(Ghilan Hafizh Khusnudin/Mahasiswa Semeseter 2 Jurusan Hubungan Internasional/Faktultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikFisipol/Universitas Brawijaya Malang)

Related posts

Ubalan Berbenah, Pemkab Mojokerto Mesti Gencar Lakukan Promosi

RedaksiKBID

Manajamen Hokky Swalayan Diprotes Warga, DPRD Surabaya segera Turun Tangan

RedaksiKBID

Tim SAR Temukan Jazad Pria yang Terjun ke Laut di Jembatan Suramadu

RedaksiKBID