KAMPUNGBERITA.ID – PC GP Ansor Surabaya menyesalkan sikap anak buah Walikota Surabaya, Tri Rismaharini yang meminta wartawan televisi lokal (JTV) untuk tidak ikut meliput kegiatan Kiran satu Negeri GP Ansor di Balaikota Surabaya pada Senin 8 Oktober 2018 lalu.
Seperti diketahui, Walikota Surabaya Tri Rismaharini diduga menodai kebebasan pers dengan menghalang halangi kinerja pekerja pers dalam melakukan liputan.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini memerintahkan anak buahnya untuk mengusir Dewi Reporter JTV yang biasa bertugas dilingkungan Pemkot Surabaya. Ini dialami Dewi yang akan meliput kedatangan Tim Kirab Satu Negeri GP Ansor di Rumah Dinas Walikota.
Reporter JTV, Dewi mengaku mendapat teguran dari Kabag Humas Pemkot Surabaya, M.Fikser saat akan mendekati teras rumah dinas Risma.
“Pak Fikser menegur saya ketika akan masuk rumah dinas Walikota. Dan mengatakan mulai hari ini Mbak Dewi gak usah datang kalo ada acaranya ibu (Tri Rismaharini). Ibu tidak berkenan,” ujar Dewi.
Saat ditegur seperti itu, Dewi kembali bertanya kepada M.Fikser selaku anak buah Risma, bahwa keinginan Risma bisa disampaikan saja ke kantor redaksi JTV, tapi langsung dijawab sama Fikser, ya nanti kita kirim surat ke kantor Sampean.
GP Ansor Surabaya mengaku tidak tahu sama sekali ada insiden yang semestinya tidak terjadi. Ketua PC GP Ansor Surabaya, M Faridz Afif mengaku sangat menyesalkan dengan adanya insiden pengusiran wartawan dari Balaikota Surabaya.
”Semestinya tugas-tugas pers harus tetap dilindungi karena di tangan para jurnalis semua informasi yang berkaitan dengan masyarakat tersampaikan,” katanya, Rabu (10/10).
Gus Afif demikian dia biasa disapa berharap, Risma selaku Walikota menegur anak buahnya untuk tidak bersikap seperti itu. Terlebih, ada khalayak ramai yang ikut menyaksikan. Namun, katanya, semuanya harus tetap dikomunikasikan.
”Tabayun (klarifikasi) itu penting, biar bisa diketahui ujung pangkal permasalahan yang sebenarnya terjadi,” tegasnya.
Menurut dia, bagaimana pun pers dalam hal ini jurnalis adalah patner strategis sebuah lembaga. Maka, akan lebih elok kalau dirangkul bukan malah dijauhi apalagi diusir.
Di sisi lain, kejadian semacam itu tidak hanya terjadi pada reporter JTV, beberapa wartawan lain juga sempat mengalami hal serupa dimassa kepemimpinan Walikota Surabaya Tri Rismaharini lantaran tidak ingin dikritisi.
Atas sikap semacam itu, sejumlah wartawan menilai ada kebebasan pers yang sengaja dibelenggu Walikota Surabaya.
“Tak sepantasnya seorang kepala daerah sekelas Risma anti wartawan, apalagi anti kritikan, padahal kritik bagian dari perubahan dalam pembangunan sebuah pemerintahan, dan tidak seharusnya walikota menyuruh anak buahnya melarang wartawan melakukan peliputan,” ujar salah satu wartawan
Sementara Trishna wartawan salah satu media online menilai, kejadian yang menimpa wartawan JTV jelas melecehkan profesi jurnalis yang nyata-nyata dilindungi oleh UU Pokok Pers.
“Buat apa jutaan penghargaan yang dilekatkan ditubuh Risma, kalau masih punya mental alergi sama wartawan. Apa kata dunia?” ungkapnya.
Sebelumnya, Sekretaris Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) H Makin Rahmat menilai, pers tidak bisa dibelenggu dengan praktik-praktik pelarangan semacam itu. Menurutnya, Kabag Humas yang disebut melarang tugas jurnalistik harus menjadi corong yang obyektif terhadap majikanya.
”Jangan cuma memosisikan sebagai tameng majikan, tapi tetap harus proporsional dan memahami posisinya sebagai patner perusahaan pers, jangan main usir!” katanya.KBID-DJI