KAMPUNGBERITA.ID-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Puncak Kerinci Law Firm membantu memenangkan gugatan kliennya (Tjong Cien Sing) atas tergugat NG Ek Song atas objek sengketa tanah di Desa Manyarejo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik dengan luas tetap 32.750 mater persegi.
Pengadilan Negeri (PN) Gresik yang mengadili perkara perdata pada peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan Nomor 5/Pdt.G/2023/ PN GSK, yakni mengembalikan batas-batas dalam keadaan semula.
Advokad senior dari LBH Puncak Kerinci Law Firm, OoD Chrisworo SH, MH mengatakan, kasus mafia tanah semakin menjamur di wilayah Jatim, di antaranya baru-baru ini terjadi di Kabupaten Gresik. “Mafia tanah itu memang ada dan nyata. Ya, untungnya klien kami ini punya duit, sehingga bisa melakukan perlawanan dengan menyewa kami untuk mengembalikan hak-haknya, ” ujar dia kepada awak media, Rabu (27/7/2024) sore.
Dia berpesan kepada masyarakat Surabaya agar hati-hati dan waspada, serta meminta kepada para pejabat yang berurusan terkait pertanahan, jangan sekali-kali ikut terlibat atau bermain sebagai mafia tanah.
“Kasihan masyarakat itu jika harus memperjuangkan hak-haknya atas tanah yang dirampas para mafia tanah,” ungkap dia.
Kasus yang terjadi di wilayah Gresik baru-batu ini, dikatakan Ood, faktanya tidak bisa menunjukkan batasan tanahnya sehingga didorong seperti itu, maka gugatan di pengadilan itu putusannya N O (tidak dapat diterima) atau Niet Ontvankelijk Verklaard.
” Untungnya dalam kasus ini, tanah klien kami sudah bersertifikat. Namun ketika sertifikat diserahkan ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kok bisa di BPN (Badan Pertanahan Nasional) luas tanahnya berubah. Dasarnya apa? Anehnya, disuruh mengubah ke posisi semula menolak. Ternyata ada permohonan-permohonan yang diduga palsu atau dipalsukan,” ungkap dia.
Padahal, lanjut dia, pemilik lahan tersebut masih di Tiongkok dan tapi dikatakan sebagai penunjuk batas tanah ketika dilakukan perubahan luas tanah.
“Masak tanah seluas 2.291 meter persegi di pergudangan yang harga per meternya Rp3.500.000 hingga Rp 4.000.000 diserahkan begitu saja. Padahal menurut pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, peralihan tanah harus di hadapan PPAT dan itu harus bayar pajak,”beber dia.
Ood menduga yang mencaplok lahan kliennya memang sengaja berniat menghindari pajak. Sehingga memilih bermain dengan mafia tanah. Karena bayarnya tidak sampai Rp 3.500.000 kali 2.291. Cukup Rp 1-2 miliar selesai.
Untuk itu, Ood memberikan apresiasi terhadap Satgas Mafia Tanah, Polres Gresik, dan Kejaksaan Gresik yang telah memberikan teguran keras kepada BPN yang kemudian bersedia melakukan peninjauan ulang. Sehingga kasus ini bisa selesai sesuai ekspektasi.
Dia berharap kinerja Satgas Mafia Tanah di daerah-daerah lain bisa mencontoh di di Gresik dalam penyelesaian persoalan menangani mafia tanah.
Terkait modusnya, Ood menerangkan mereka melakukan pengurukan tanah lebih dahulu, lalu melakukan pemagaran dan dirayu agar bersedia diajak melakukan perjanjian pelurusan soal ukuran tanah.
“Kita kelurusan tanah 10 tahun kemudian, ternyata sejak 2013 hingga 2023 baru diubah. Itupun tidak ada berita acaranya, termasuk berapa ukuran tanah yang telah dicaplok. Sekarang ini baru satu sertifikat yang kita persoalkan,masih ada dua sertifikat lagi,” tutur dia.
Ood menambahkan, sertifikat 144 dicaplok 500 meter persegi dan sertifikat 686 kurang lebih dicaplok 200 meter persegi. Yang 686 itu digunakan untuk membangun mess, sedangkan 144 itu dari ukuran tiga meter ke belakang untuk pembangunan jalan masuk.
“Memang sertifikat klien kami belum berubah, tapi fakta di lapangan sudah dicaplok, itu faktanya,”tegas dia.
Sedangkan terkait tanda batas ukuran luas tanah, Agnis Martha SH, MH, advokad dari Puncak Kerinci Law Firm menyatakan telak dirusak semua.
“Kebetulan ada satu batas yang ada di posisi dia yang belum dihilangkan, yakni sumur bor,” kata dia seraya menambahkan jika kliennya cuma meminta tanahnya dikembalikan sesuai asalnya.
Agnis menegaskan, dalam waktu dekat kliennya bersama advokad lainnya akan merebut kembali tanah yang dicaplok secara fisik. “Selama ini mereka masih menggunakan jalan yang lahannya milik klien kami. Jadi, mereka menikmati jalan itu selama 11 tahun (2012-2023). Saat ini kami masih mengkalkulasi soal kerugian itu,” terang dia.
Imam Budi Utomo SH MH juga advokad dari LBH Puncak Kerinci Law Firm menambahkan, masyarakat harus hati-hati terkait persoalan tanah. Sedangkan bagi para pejabat yang bekerja dan berurusan soal tanah pertanahan jangan sesekali terlibat sebagai mafia tanah. “Jangan cederai hak orang lain,” tegas dia. KBID-BE