KampungBerita.id
Headline Kampung Raya Surabaya Teranyar

Tolak Perda Nomor 7/ 2023, Aliansi Korban Surat Ijo Lontarkan Mosi Tak Percaya kepada DPRD Surabaya

Aliansi Korban Surat Ijo Surabaya menggelar unjuk rasa di Gedung DPRD Kota Surabaya, Kamis (11/1/2024)@KBID-2024.

KAMPUNGBERITA.ID-Sejumlah warga yang tergabung dalam Aliansi Korban Surat Ijo (AKSI) Surabaya berunjuk rasa di halaman Gedung DPRD Kota Surabaya, Kamis (11/1/2024) siang.

Kedatangan mereka untuk menyampaikan sikap, yaitu mosi tidak percaya kepada seluruh anggota DPRD Kota Surabaya periode 2019-2024 yang terlibat dalam proses penyusunan dan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7/2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

“Kami dari AKSI yang di dalamnya ada Forum Analisis Surabaya telah menulis surat kepada Ketua DPRD Kota Surabaya dan Ketua Badan Kehormatan (BK) soal sikap mosi tak percaya. Mereka tidak melaksanakan kewajibannya sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, khususnya pasal 161 huruf e (memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat) dan huruf j (menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan yang masyarakat),
,” ujar Ketua AKSI Surabaya, Saleh Alhasni, Kamis (11/1/2024).

Lebih jauh, Saleh menjelaskan ketika raperda dibuat, pihaknya tidak menemukan konsideran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021. Tapi di perdanya (Perda Nomor 7 Tahun 2023) pihaknya menemukan adanya PP Nomor 18 Tahun 2021
tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Hak Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

Menurut Saleh, PP inilah yang dibawa Menteri Agraria Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto saat datang ke Surabaya sebagai opsi. Surat itu yang ditunjukkan dan dipakai senjata oleh Wali Kota Eri Cahyadi untuk menyelesaikan permasalah tanah surat ijo sebagai opsi alternatif.

“Waktu itu kami sudah menolak, baik kepada Pemkot Surabaya maupun DPRD Kota Surabaya. Kami juga minta kepada DPRD pada waktu itu agar dibentuk pansus sesuai dengan perolehannya Pemkot Surabaya, yakni SK HPL (Hak Pengelolaan) dan Sertifikat HPL, “kata dia.

Lebih jauh, Saleh menjelaskan 85 Sertifikat HPL seharusnya diturunkan kepada warga, yaitu dengan cara membuat Peraturan Daerah (Perda) persetujuan pemberian HGB di atas HPL Dengan Perda itulah nanti ada Peraturan Wali Kota (Perwali) yang mengatur tata cara pemberian persetujuan HGB di atas HPL. Dengan begitu, Wali Kota bisa menerbitkan rekomendasi kepada warga yang bermohon. Ketika warga itu bermohon rekomendasi ,maka keuangan akan terlihat jelas.

Menurut dia, berdasar data di Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Jatim, sementara ini ada 268 bidang atau 0,8 persen yang sudah melakukan pendaftaran tanah. Sedangkan yang belum melakukan permohonan ada 33.107 bidang atau 99,2 persen.

“Artinya SK HPL ini belum dijalankan sebagaimana mestinya, tiba -tiba Menteri ART/BPN datang dengan membawa opsi PP yang baru, di mana PP tersebut di Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2022 pada waktu itu digugat masyarakat, sehingga PP tak bisa dijalankan. Hingga akhirnya Presiden Jokowi menetapkan dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 dan diundangkan dengan UU Nomor 6 Tahun 2023. Sehingga PP tersebut cepat-cepat ingin dilaksanakan, ” ungkap Saleh.

Setelah warga korban surat ijo tahu bahwa di dalam surat Menteri ATR/BPN tanggal 1 Desember 2022 itu ternyata dasarnya adalah surat yang ditujukan kepada Gubernur Jatim, namun dalam penyelesaiannya ini seharusnya disampaikan semua, kata Saleh, inilah yang dipotong dalam saran penyelesaiannya. Satu, dua, dan tiga ini tak pernah dituangkan di dalam surat tersebut. Tapi surat itu mengarah pada mengubah langsung langsung PP Nomor 18 Tahun 2021. Ini tak dipakai, tapi dasar ini dipakai. Dasar ini adalah dasar yang digunakan oleh rekomendasi dari DPRD Jatim sebelumnya.

“Jadi surat dari DPRD Jatim dan Gubernur Jatim ada semua. Dasar inilah yang semestinya dipakai, dan isinya memang harus ini. Tapi digunting dalam lipatan dan kemudian masyarakat dipaksa untuk mengakui,” beber Saleh.

Dia menambahkan, dengan memegang IPT, maka jika beralih ke HGB di atas HPL masyarakat tidak mendapatkan apa-apa, termasuk ganti rugi. Sertifikat HGB di atas HPL yang diberikan kepada masyarakat itu menjadikan perolehan riwayat tanahnya terputus. Padahal perolehannya itu sudah diuji di pengadilan, sudah inkrah.
Semestinya itulah yang dipakai. Tapi, beralih dengan adanya PP yang baru tersebut,”tandas dia.

Saleh menyatakan, memanfaatkan PP yang baru seolah-olah mengembalikan tanah-tanah negara kepada Pemerintah Pusat. Tetapi kembali ke Pemerintah Daerah (Pemda) itu masuk sebagai barang milik daerah. Ketika itu masuk barang milik daerah, sama saja dengan tanah-tanah masyarakat diambil paksa oleh Pemkot Surabaya dengan tidak menggunakan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi Pemerintah yang didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dimana PP itu sudah diubah dengan PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akutansi Pemerintah, sehingga bisa diakui oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Jika aset itu sudah sesuai Standar Akutansi Pemerintah berdasarkan paragraf 21 dan 20, apabila masyarakat mendapatkan suatu perolehan harus melalui instansi berwenang, yakni sertifikat dari BPN, bukan surat ijo. Kalau surat ijo tidak didapatkan dari instansi yang berwenang. Ini tidak bisa dijadikan perolehan lainnya yang sah. Pemkot menterjemahkan IPT sebagai perolehan lainnya yang sah. Padahal (surat ijo) ini tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Ini kepala dinas yang tanda tangan, tidak ada gambar garudanya. Sedangkan dari BPN ada gambar garudanya. Inilah yang dikatakan perolehan yang sah berdasarkan paragraf 21 PP Nomor 71 Tahun 2010.

“Kalau pemerintahannya baik, ya harus tunduk pada aturan main. Jangan memanfaatkan dengan membuat perda-perda yang tidak sesuai dengan asal usul riwayat tanahnya. Sehingga kami (warga surat ijo) merasa dikibuli dengan perda yang dibuat, terutama dengan raperda yang tidak memasukkan PP itu, tiba-tiba dalam perda dimasukkan. Ini menurut kami ada penyelundupan dalam proses pembentukannya. Apalagi, kami tak pernah dilibatkan. Ini yang membuat kita semakin tidak percaya dengan DPRD Kota Surabaya dan Pemkot Surabaya.” pungkas dia.KBID-BE

Related posts

Tabrak Truk, Pengendara Honda CBR Tewas di Tempat

RedaksiKBID

Clear, Perwali 33/2020 Tak Larang Hajatan Warga Surabaya selama Pandemi

RedaksiKBID

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro Gelar Acara Rembug Stunting

RedaksiKBID